Oleh Asri Supatmiati
Penulis Buku ¨Indonesia Dalam Dekapan
Syahwat¨
Skandal seks figur publik selalu
menjadi santapan media yang mengguncang dunia. Baik pernikahan sah
–tapi kontroversi-- maupun selingkuh, menjadi bulan-bulanan media
yang asyik diikuti berminggu-minggu.
Dunia internasional, belum lama
diguncang skandal seks pimpinan tertinggi badan intelijen Amerika
Serikat CIA, hingga melengserkannya dari kursi empuk itu. Di Tanah
Air, pernikahan kilat Aceng HM Fikri dan Fany Octora menyedot energi
bangsa, mulai rakyat jelata hingga presiden. Publik terusik oleh ulah
Aceng yang Bupati Garut itu, karena dinilai melecehkan perempuan.
Bagaimana tidak, Aceng menikahi gadis muda 18 tahun, hanya dalam
tempo empat hari kemudian ditalak.
Ibarat kumbang menghisap madu, habis
manis sepah dibuang. Pembelaan Aceng yang mengaku menceraikan Fany
karena ¨sudah tak perawan¨, semakin membuatnya dikecam
habis-habisan. Ini juga menunjukkan kerendahan moralnya, dimana motif
menikahi seorang perempuan sekadar untuk memerawaninya. Apalagi dia
mengungkit-ungkit ratusan juta rupiah yang sudah dirogohnya demi
menikahi sang perawan impian. Menganggapnya terlalu mahal dibanding
¨meniduri¨ artis.
TUJUAN MENIKAH
Adalah wajar jika publik geram dengan
ulah Aceng. Sebagai pejabat publik, seharusnya dia memberi teladan
kebaikan. Sebaliknya, malah membuka boroknya sendiri akan keburukan
perangai dan moralnya. Tampak jelas bagaimana ia begitu meremehkan
pernikahan dan merendahkan perempuan.
Padahal sebagai seorang yang pernah
menikah sebelumnya, Aceng semestinya paham betul hakikat pernikahan.
Menikah adalah ibadah yang indah demi membentuk sebuah keluarga yang
penuh keberkahan. Menikah diharapkan dilakukan sekali seumur hidup,
langgeng hingga akhir hayat.
Menikah merupakan salah satu perintah
Allah SWT yang sangat didambakan setiap insan. Sepasang mempelai
begitu gembira saat hari H itu tiba, sehingga otomatis berbagi dengan
sesama, teman dan kerabatnya mengenai hari bahagia itu. Digelarlah
resepsi agar publik tahu pernikahan sakral tersebut.
Tapi, pernikahan Aceng-Fany terkesan
diam-diam. Buktinya, ia ¨hanya¨ menikah siri dan tidak menggelar
resepsi layaknya pernikahan pejabat publik di Tanah Air yang biasanya
¨wah¨. Padahal, sebagai pejabat publik, kehidupannya jelas akan
mendapat sorotan. Akan memunculkan fitnah jika ia tiba-tiba terlihat
bermesraan dengan perempuan muda. Jadi, seharusnya dengan bangga dia
memperkenalkan istri barunya. Nah, ini tidak dilakukan Aceng
karena ternyata ia masih memiliki istri dari pernikahan sebelumnya
alias dengan Fany adalah pernikahannya kedua. Salahkah Aceng? Memang,
dari sisi agama tidak ada yang salah.
Berpoligami dan bahkan nikah siri sah
secara agama. Bahkan, sejatinya tidak perlu ada istilah nikah siri
yang selalu dikonotasikan negatif, karena jika sebuah pernikahan
telah memenuhi syarat dan rukun secara Islam, maka sah di mata Allah
SWT. Hanya, bagi yang mampu, untuk mengumumkan pernikahan tersebut
kepada publik dengan mengadakan walimahan atau yang dikenal resepsi.
Tujuannya, agar tidak muncul fitnah, dikarenakan masyarakat umum
paham bahwa sepasang laki-laki-perempuan tersebut telah menjadi
suami-istri.
Nah, dari sini, motif menikahi Fany
memang sudah bisa ditebak. Seolah Aceng tidak serius menjadikannya
pendamping hidup dunia-akhirat. Seolah tujuannya memang bukan untuk
membentuk rumah tangga yang sakinah, melainkan sekadar apa yang
disebut ¨cinta satu malam¨. Apalagi aroma rupiah begitu mencuat di
balik pernikahan ini. Sampai-sampai anggota komisi iX DPR RI Rieke
Diah Pitaloka menyerukan KPK untuk mengusut darimana uang ratusan
juta yang digelontorkan Aceng untuk menikahi Fany itu (www.detik.com,
4/12/12).
Jika motif ini benar, jelas sangat
melecehkan lembaga pernikahan itu sendiri. Pernikahan bukanlah
legalisasi hubungan biologis, melainkan pondasi membangun keluarga
yang kelak akan melahirkan generasi-generasi penerus. Alangkah
bahayanya jika pernikahan dianggap main-main, apalagi oleh pejabat
publik yang mentang-mentang banyak duit. Apapun bisa dibeli, termasuk
keperawanan. Sungguh bukan tindakan pejabat yang layak diteladani.
Wajar jika berbagai elemen masyarakat
kian deras menuntut Aceng mundur sebagai bupati. Ini sebagai bentuk
hukuman hukuman moral atas tindakannya yang melecehkan perempuan dan
lembaga pernikahan. Sebuah peringatan bagi pejabat atau figur publik
umumnya, agar tidak mempermainkan pernikahan yang sakral.
MENDUDUKKAN PERSOALAN
Masyarakat umumnya membela Fany dalam
kasus ini. Terlebih usia Fany yang masih dianggap anak-anak pada saat
menikah. Sebab Undang-undang Perlindungan Anak mendefinisikan bahwa
anak adalah mereka yang berusia kurang atau sama dengan 18 tahun.
Sementara dalam Undang-undang Pernikahan ada larangan menikahi anak
di bawah umur.
Padahal faktanya, Fany sudah baligh
dan bukan lagi anak-anak. Realitas di masyarakat menunjukkan,
kedewasaan tidak bisa dibatasi oleh usia. Karena itu, definisi ¨anak¨
versi UU Perlindungan Anak memang tidak sesuai realitas.
Merujuk pada Islam, kedewassan
seseorang tidak dibatasi usia, melainkan tanda-tanda akil baligh.
Jadi, batas anak dan dewasa adalah apakah dia sudah baligh atau
belum. Karena itu, tidak ada batas usia pernikahan dalam Islam.
Menikah hukum asalnya sunah, bisa menjadi wajib bagi yang tidak tahan
nafsu dan sudah mampu, misalnya. Sehingga, pembatasan usia pernikahan
sama dengan melanggar aturan Allah SWT.
Artinya, dari sisi usia, pernikahan
Aceng maupun Fany memang tidak masalah. Yang menjadi persoalan adalah
pondasi dibangunnya pernikahan itu sendiri. Bagaimana bisa menikah
hanya berlangsung empat hari? Tentu, hanya Aceng dan Fany yang paling
tahu apa sejatinya motif di balik pernikahan mereka yang seumur
jagung itu.
RENUNGAN
Tanpa bermaksud menyalahkan pihak
manapun, hendaknya kasus ini menjadi renungan kita, khususnya kaum
perempuan yang merasa terlecehkan. Hendaklah seorang perempuan
benar-benar kritis dan selektif dalam memilih pasangan hidup.
Pertimbangan dalam memilih suami, idealnya benar-benar atas dasar
agamanya. Jangan mudah tergiur dengan duniawi. Mahar yang mahal bukan
ukuran kebahagiaan. Bukankah sudah banyak perempuan terpedaya oleh
iming-iming hidup mewah bersama pejabat publik berduit, ternyata
hanya dijadikan pelampiasan nafsu?
Sebaliknya bagi kaum laki-laki,
hendaknya menghormati kaum perempuan. Jangan sekali-kali menganggap
perempuan bisa dibeli. Mahar bukan pengganti keperawanan. Pernikahan
bukan legalisasi hubungan biologis semata, melainkan ikatan suci yang
agung sebagai wadah membentuk ketakwaan dan ketundukan pada Sang
Pencipta.(*)
Bupati Garut Aceng Fikri dan Fany Octora. Foto from Google. |
No comments:
Post a Comment