Oleh Kholda Naajiyah
Redaksi Media Umat
Gencatan senjata membuat Gaza sejenak
tiarap. Namun, selama serangan Israel beberapa hari, perempuan dan
anak-anak telah menjadi korban kebiadaban Yahudi. Ketua organisasi
Independen HAM Palestina menyatakan, 162 orang tewas dan 1.200 orang
cidera. Sebagian korban adalah anak-anak, perempuan dan lansia, yakni
mencapai 42 persen (republika.co.id).
Di antaranya adalah empat buah hati
Mohamed Al-Dallu, seorang polisi. Misil Israel menghancurkan rumahnya
hingga menewaskan delapan anggota keluarganya, Minggu (18/11/12).
Suasana begitu pilu saat warga dengan alat seadanya menggali
reruntuhan puing untuk mencari korban. Di Rumah Sakit Shifa, tangis
memecah ketika anak-anak Dallu digendong tak bernyawa. Ya, betapa
memilukannya nasib anak-anak Palestina.
KORBAN KEBIADABAN
Perempuan dan anak-anak adalah warga
sipil yang tidak memiliki senjata untuk membela diri dari serangan
lawan. Mereka adalah zona netral, bukan ‘peserta’ perang. Mereka
seharusnya pihak yang dilindungi pihak keamanan dan penguasa.
Tapi, yang terjadi di Palestina
sebaliknya. Sebagian bocah hidup dalam ketakutan tak berkesudahan.
Seperti dikutip Merdeka.com, organisasi nirlaba Israel, Breaking the
Silence, memaparkan laporan mengejutkan. Mereka membukukan pengakuan
30 mantan serdadu Negeri Zionis itu soal kekerasan terhadap
bocah-bocah Palestina, seperti dilansir dari surat kabar the
Guardian, Senin (27/8/12).
Dibeberkan, serdadu Israel saban hari
menculik, memukuli, menakut-nakuti dan mencemooh para bocah
Palestina. Prajurit itu mencari-cari alasan, menuduh mereka melakukan
pelemparan batu. Di lain waktu, mereka menendang dan mencekik
anak-anak tanpa alasan.
Bocah kecil ditangkap dan diseret masuk
ke kantor polisi, ditanyai dan dipukuli. Mereka diinterogasi, siapa
kerabat yang menjadi anggota Hamas atau Jihad Islam, sembari laras
senapan berisi peluru tajam siap tembak diarahkan ke kepala. Tentu
bocah itu menangis ketakutan minta ampun. Prajurit itu malah tertawa.
Menurut Gerard Horton dari organisasi
Perlindungan Anak-anak Internasional (DCI) cabang Palestina, dari
hasil penelitian, bocah-bocah Palestina kerap disiksa oleh prajurit
Israel. Tiap malam mereka diculik, diborgol, ditutup matanya, serta
mendapat kekerasan. Kengerian itu berlanjut lantaran mereka tidak
diizinkan bertemu orang tua sampai pemeriksaan selesai sesuai
kehendak para prajurit itu.
TRAUMA TAK BERKESUDAHAN
Perang hanya menanamkan trauma bagi
anak. Mereka mengalami tekanan psikologis sangat berat. Mereka
dipaksa menyaksikan pembantaian dan kematian orang-orang tercinta,
baik ayah-ibu, kerabat, tetangga dan orang terdekat lainnya.
Dengan kerentanan fisik dan mental yang
masih memerlukan perlindungan, mereka tumbuh dan ‘bersahabat’
dengan perasaan takut, cemas, curiga dan kebencian. Akibatnya, mereka
cenderung berada dalam situasi ketakutan, kebingungan dan
ketidakmenentuan.
Rentetan kekerasan, pembantaian dan
pengalaman buruk lainnya yang dialami anak akhirnya dapat menaburkan
benih perilaku anarkis, curiga, kasar, tertutup (introvert), penuh
dendam, atau agresif dan selalu ingin mencari musuh. Yang bahaya, hal
itu akan dibawa hingga mereka dewasa. Kelak mereka akan menilai
‘wajar’ meniru berbagai kekerasan dan sifat anarkis yang
dilakukan militer.
Dampak psikologis seperti itu jelas
berbahaya bagi masa depan anak-anak sebagai generasi penerus. Kelak
akan lahir generasi muda yang pembenci, pendendam dan dekat dengan
kekerasan. Bagi suatu bangsa, ini bukan ancaman remeh. Dibanding
sekadar kerusakan fisik, kerusakan mental dan jiwa anak-anak lebih
berbahaya.
Kerusakan infrastruktur bisa dibangun
kembali 1-2 tahun kemudian, namun ‘kerusakan’ mental anak tidak
bisa dipulihkan, bahkan sepanjang hayatnya. Padahal, di tangan
merekalah masa depan peradaban suatu bangsa ditentukan. Bagaimana
jika pelajaran kekerasan yang terpaksa ia terima di waktu kecil
menjadi bekalnya untuk memimpin bangsa tersebut kelak? Semoga hal itu
tidak terjadi pada anak-anak Palestina, juga anak-anak kita.
Ya, berkaca pada kondisi di Palestina,
keluarga muslim yang hidup di wilayah yang relatif damai harus
berusaha semaksimal mungkin memenuhi hak-hak buah hatinya. Di sisi
lain, sembari menyiapkan anak-anak yang tangguh, agar siap menghadapi
kondisi apapun. Anak-anak yang digembleng dengan keceriaan, namun
juga siap memikul tanggungjawab layaknya mujahid di masa balighnya.
Demikian pula para perempuan yang
notabene kaum ibu, harus menyiapkan mental untuk merelakan
anak-anaknya menjadi mujahid. Anak adalah titipan Allah STW yang bisa
sewaktu-waktu diambil-Nya dengan cara apapun. Sebaliknya, juga
menyiapkan diri menjadi para mujahidah yang siap menghadap-Nya, yang
bisa jadi mendahului sang buah hati tercinta.
KHILAFAH SELAMATKAN ANAK
Sejatinya, secara manusiawi, dunia
paham bahwa jatuhnya korban perempuan dan anak-anak adalah kejahatan
besar. Bahkan kesepakatan Jenewa nomor 53 dan 147 melarang keras
membunuh warga sipil dan anak-anak dalam perang.
Ironisnya, masyarakat dunia seolah
gagap terhadap apa yang terjadi. Para pejuang hak asasi manusia yang
paling lantang menyerukan perdamaian dan penghormatan atas
kemanusiaan pun tak terdengar pembelaannya terhadap warga Palestina.
Dunia tidak pernah menggiring Israel ke Mahkamah Internasional
sebagai penjahat perang. Terlebih karena adanya restu Amerika Serikat
atas seluruh tindak biadab yang dilakukan Israel.
Itulah jika umat Islam tak memiliki
pemimpin sekaliber negara adidaya. Pemimpin-pemimpin di negeri-negeri
muslim saat ini tak berkutik karena mereka umumnya berada di ketiak
Amerika Serikat. Hanya negara adidaya baru yang independen yang mampu
menandingi kekuatan Israel plus sekutunya AS.
Negara itu tak lain Khilafah Islamiyah
yang merupakan negara kesatuan dari wilayah-wilayah muslim di seluruh
dunia. Negara Khilafah berkewajiban melindungi warga negaranya,
termasuk perempuan dan anak-anak. Dalam keadaan perang atau damai,
perempuan memiliki peran strategis sebagai pelahir generasi penerus.
Sedangkan anak-anak, di pundak merekalah masa depan umat. Karena itu,
perempuan dan anak-anak berhak mendapatkan perlindungan maksimal. Itu
sebabnya dalam Islam, dilarang memerangi perempuan dan anak-anak
dalam situasi perang.
Dengan demikian hanya dalam naungan
Daulah Khilafah Islamiyah anak-anak akan mendapat posisi mulia,
jaminan keamanan dan kenyamanan hidup, sejahtera dan bahagia. Semoga
Khilafah sebagai sistem yang sempurna dan paripurna segera tegak demi
menyudahi nestapa anak-anak Palestina khususnya dan anak-anak di
belahan bumi manapun pada umumnya. Aamiin.(kholda)
Anak-anak Palestina yang tak pernah kering dari deraian air mata. Foto from Google. |
No comments:
Post a Comment