Oleh Asri Supatmiati, S.Si,
(Jurnalis, penulis buku Indonesia Dalam Dekapan Syahwat) Kantor berita Associated Press (AP) menobatkan Indonesia sebagai urutan kedua surga pornografi setelah Rusia. Wajar bila anak-anak pun sudah familiar dengan barang esek-esek itu. Buktinya, survey Yayasan Kita dan Buah Hati terhadap 1.705 responden di Jadebotabek pada 2005, menunjukkan, lebih dari 80 persen anak berusia 9-12 tahun telah mengakses materi pornografi. Penelitian terhadap murid kelas 4-6 SD ini menyebutkan, 25 persen mendapat materi pornografi melalui handphone, dari situs pornografi di internet 20 persen, dari majalah 12 persen dan film/VCD/DVD 12 persen (Republika, 3/3/06). Dampak Sosial Dampak negatifnya tentu luar biasa. Pertama, melemahkan produktivitas manusia. Dalam penelitian yang dilakukan terhadap 500 perusahaan di AS, terbukti bahwa para karyawan laki-laki menggunakan 62 persen jam kerjanya untuk mengakses situs-situs porno (Perspektif, November 2005). Bagaimana di Indonesia? Mungkin jika diteliti hasilnya lebih mencengangkan, mengingat 'prestasi' sebagai surga nomor 2 atas kemudahan akses porno seperti disebut di atas. Kedua, merebaknya perilaku seks bebas. Contoh nyata, berdasar penelitian Annisa Foundation, 42,3 persen remaja perempuan telah melakukan seks pranikah (Hidayatullah.com, 12/02/07). Data lain adalah hasil survey BKKBN terhadap 2.880 remaja usia 15-24 tahun di enam kota di Jawa Barat pada 2002. Tercatat 39,65 persen pernah berhubungan seks sebelum nikah. Sebuah angka yang sangat mencemaskan. Ketiga, merebaknya kejahatan seksual (sexual harassment). Terpaparnya konten porno telah membangkitkan syahwat seseorang, dimana ketika ia tidak memiliki wadah penyaluran yang sah (pernikahan), pemaksaan dan pemerkosaanlah jalan keluarnya. Di Indonesia, rata-rata 5 sampai 6 perempuan diperkosa (Republika, 29 Mei 1994). Berita ABG memperkosa balita, ayah memperkosa anaknya, anak memperkosa ibunya atau seorang gadis digilir 13 pemuda bukanlah hal yang aneh. Dari data di LP Anak Tangerang misalnya, menyatakan bahwa pelecehan seksual merupakan kejahatan kedua setelah narkoba. Kebanyakan, ketika ditanya pelaku melakukannya setelah nonton tayangan porno. Di negara liberal seperti Kanada, studi tentang pemerkosa anak-anak menunjukkan bahwa 77% dari pemerkosa laki-laki (sodomi) dan 87% pemerkosa anak-anak perempuan mengaku bahwa mereka secara rutin mengkonsumsi pornografi berat (hardcore). Sementara 1.400 kasus pemerkosaan anak di Lousville, Kentucky antara 1980-1984, berhubungan dengan pornografi, terutama pornografi anak (Thomas Bombadil, “Pornography and Sexual Violence”, www.bnp.org.uk Keempat, merebaknya disorientasi seksual. Akibat rangsangan porno dari berbagai penjuru dan berulang-ulang, dapat melemahkan daya sensitivitas seseorang. Dari sinilah berkembang fantasi-fantasi seksual, dimana rangsangan maupun pemenuhan kebutuhan seks menjadi liar. Hubungan seks yang tak pernah dilakukan binatang sekalipun, justru dilakoni manusia. Seperti incest (hubungan seks dengan saudara kandung), pedofilia (menggauli anak di bawah umur), hubungan seks sesama jenis (homo/lesbi), pesta seks bareng-bareng (orgy), tukar menukar pasangan (swinger), seks dengan benda-benda atau bahkan hubungan seks dengan kekerasan, binatang atau mayat (hardcore). Na'udzubillahi min dzalik. Kelima, runtuhnya institusi pernikahan dan terancamnya eksistensi manusia. Kepornoan yang diumbar di ranah publik mudah menggoda libido seseorang hingga ia berpaling dari ikatan pernikahannya. Terjadilah perselingkuhan dan berujung pada perceraian. Homoseksual/lesbianisme dan seks bebas juga membuat lembaga pernikahan semakin dijauhi dan tujuan pernikahan berupa regenerasi tidak terwujud. Ancaman selanjutnya adalah terputusnya regenerasi. Melihat dampak yang demikian mengerikan, tidakkah pornografi dan pornoaksi dianggap masalah bangsa? Mengapa sampai saat ini negara cuek saja? Menunggu sampai seberapa rusaknyakah tatanan masyarakat baru penguasa negeri ini tergerak nuraninya? Liberalisasi Seks Lihat saja, tayangan televisi, media massa, buku, komik, games, film hingga musik semakin vulgar dan leluasa memuat konten kepornoan. Sudah barang tentu hal itu terjadi karena tidak adanya keseriusan dan ketegasan penguasa dalam memberantas kepornoan. Bahkan, kepornoan cenderung dibiarkan. Buktinya, majalah porno yang diprotes masyarakatpun melenggang dengan aman. Mengapa? Ini karena Indonesia mulai terjebak dalam industri seks global yang dipelopori Amerika Serikat. Telah terjadi proses revolusi seksual, dimana kepornoan telah berpindah dari ranah privat menuju ranah publik. Revolusi seks ini bermula dari Amerika Serikat dan Barat. Budayawan senior Taufik Ismail menyebutnya sebagai Gerakan Syahwat Merdeka. Sebuah gerakan yang tak bersosok sebagai organisasi resmi, namun secara sistematis dan terencana menebarkan jaring-jaring seks bebasnya ke seluruh nusantara. Gerakan ini bekerjasama bahu-membahu melalui jaringan global, dengan kapital raksasa dan didukung media massa sebagai corongnya. Mereka tak lain pengusung ideologi neoliberalisme yang berusaha memerdekakan syahwat dari belenggu ikatan, baik ikatan moral maupun agama. Indonesia, sebagai komunitas muslim terbesar di dunia menjadi target utama liberalisasi seksual karena bagi Barat, Indonesia berpotensi menjadi ancaman atas eksistensi mereka. Target yang diharapkan adalah rusaknya moral kaum muslimin, rusaknya generasi muda, rusaknya kaum perempuan dan runtuhnya institusi pernikahan. Tujuan akhirnya adalah semakin menjauhkan kaum Muslim dari Islam. Berkedok HAM Derasnya gelombang pornografi dan pornoaksi menyerbu tanah air, diperkuat oleh berbagai gagasan yang disutradari para aktivis penggiat ideologi sekular. Seperti gagasan porno adalah seni dan hak seksual adalah bagian dari hak asasi manusia (HAM). Berkedok seni, pornografi dan pornoaksi diperjuangkan sebagai sesuatu yang dilegalkan di negeri ini. Catatan dan Usulan Perubahan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi yang disusun oleh Jaringan Prolegnas Pro Perempuan mendefinisikan pornografi sebagai penggambaran aktivitas seksual, ketelanjangan, eksploitasi bagian tubuh sebagai objek seksual dan kekerasan serta ketertundukan seksual terhadap perempuan dan anak-anak dengan tujuan mengambil keuntungan dan merangsang birahi. Itupun apabila dilakukan dengan cara-cara penipuan, penyalahgunaan ataupun tanpa izin dari pihak yang bersangkutan. Ringkasnya, pornografi hanya didefinisikan sebagai bentuk ”ketertelanjangan” yang disertai dengan paksaan atau tujuan komersil atau dengan cara penipuan. Diluar itu, tak bisa disebut porno. Maka, tak bisa disebut porno jika perempuan/laki-laki tampil tanpa busana dengan tujuan seni atau dengan kemauan sendiri tanpa paksaan, difoto nudis, goyang ngebor di atas panggung yang ditonton oleh laki-laki, dan sejenisnya. Berdasar konsep ini, mereka tak mengenal pornoaksi. Menurut mereka, pembuatan UU yang mengatur pornoaksi dan pornografi melanggar HAM. Tentu saja definisi demikian tidak sesuai dengan realitas dan semakin menguatkan ranah kepornoan. Penutup Penguasa adalah penjaga rakyat. Pemerintah wajib melindungi rakyatnya dari kerusakan sosial. Hanya melalui tangan negaralah pornografi dan pornoaksi efektif untuk dibendung, yakni melalui regulasi yang tegas dalam memberantas tuntas pornografi dan pornoaksi.(*) * Dimuat di Radar Bogor 8 Juni 2007
No comments:
Post a Comment