Betapa hancur Matheus Teguh (43) dan Mirna
Suryani (39). Anak gadisnya Pricilia Dina (14) tewas tak wajar. Siswi
SMP 51 Kota Bandung itu dibunuh Senin (31/8/15) sore di pematang
sawah dekat Perumahan Grand Sharon, Cipamokolan Kota Bandung.
Pemakaman Pricilia Dina. Foto: hello-pet.com. |
Na'uzubillahi minzalik. Anak baru kelas 1 SMP
sudah punya pikiran membunuh orang. Otak kriminal itu didapatnya dari
mana? Bukankah tak ada satupun sekolah dan guru yang mengajarkan
anak-anak untuk membunuh? Agama manapun juga tak mengajarkannya.
Lantas mereka belajar dari siapa?
Jahatnya Sekulerisme
Saat ini kita hidup dalam peradaban
sekuler-kapitalis. Tak heran bila seluruh hidup kita dipimpin pola
hidup sekuleris. Anak-anak dididik dengan sekulerisme. Orangtua
berpikir ala sekulerisme. Media massa dan tayangan menyajikan gaya
hidup sekulerisme. Sistem hukum sekuler. Sistem sosial/pergaulan
sekuler. Sistem ekonomi sekuler. Sistem pendidikan sekuler. Semua
sekuler.
Tanpa dihalaqohi intensifpun, manusia siapa
saja yang hidup dalam peradaban sekuler saat ini dipaksa mengikuti
sekulerisme. Demikian jahatnya pengaruh sistem sekulerisme ini
melalui berbagai media, menghasilkan dorongan perbuatan yang
membabi-buta. Moral, agama, halal-haram dan etika bahkan mampu
dikalahkan ajaran sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan
ini.
Salah satu produk sekulerisme itu adalah
manusia yang memberhalakan materi. Mengukur kebahagiaan dari materi.
Kemewahan pun menjadi berita yang terus menerus dipertontonkan.
Perkembangan teknologi informasi yang pesat tanpa saringan, membuat
anak-anak terhipnotis tanpa sempat berkedip sedikitpun. Mereka
melihat dengan telanjang bagaimana parade kemewahan itu harus menjadi
tujuan hidupnya.
Di panggung pemerintahan, pejabat-pejabat korup
jadi hiburan. Di media-media sosial, artis-artis pamer kemewahan. Di
televisi, tayangan glamour mendominasi. Di sinetron juga tak beda.
Novel-novel, komik dan berjuta berita gosip di internet menawarkan
gaya hidup mewah. Apalagi diparadekan oleh artis-artis idola remaja,
yang sontak ditiru para fansnya.
Maka tak heran, anak-anak sejak kecil sudah
memiliki banyak tuntutan akan benda-benda. Merengek minta dibelikan
ini itu. Kecil-kecil sudah minta smartphone, tablet, laptop atau
barang-barang mewah lainnya. Sepatu, tas, jam tangan, baju dan
aksesoris lainnya, pengin yang serba bermerek. Serba wah.
Anak-anak saat ini tidak memiliki sikap nrimo
apapun pemberian orangtuanya. Mereka serba menuntut. Mereka selalu
menganggap orangtua wajib memenuhi segala ambisinya akan harta.
Seolah-olah itu benda wajib yang tak bisa hidup tanpanya. Parahnya,
orangtua juga cenderung merasa bersalah jika tak memenuhinya.
Dan jika orangtua benar-benar tak mampu
memenuhinya, anak-anak perempuan mencari jalan pintas. Mencari pacar
(berduit). Pacaran dengan gaya bebas, demi mendapatkan segala
tuntutan gengsinya. Seolah pacaran itu kebanggaan luar biasa. Jika
pacar tak punya, atau tak mampu memenuhi tuntutannya, bahkan menjual
diri pun dilakoni.
Sedangkan anak laki-laki memenuhinya dengan
jalan kriminal. Mencuri, merampas, merampok atau bahkan membunuh.
Itulah produk peradaban sekuler saat ini. Tak heran bila kecil-kecil
sudah berotak kriminal. Rasa takut terhadap Sang Pencipta sudah
hampir-hampir tak ada. Terkalahkan oleh ajaran sekulerisme tentang
kebendaan.
Remaja Ideal
Kondisi di atas akan sangat bertolak belakang
jika kita hidup dalam peradaban Islam. Peradaban yang menjadikan
nilai-nilai agama, halal dan haram sebagai penuntun pola pikir dan
perilaku. Peradaban Islam mewujudkan sistem Islam dalam seluruh aspek
kehidupan.
Anak-anak dalam peradaban Islam dididik dengan
nilai-nilai agama sejak dini. Waktunya disibukkan dengan menuntut
ilmu, tahfidz Alquran, ibadah dan membantu orangtua. Pandangan
matanya tidak diarahkan ke tayangan televisi yang merusak, melainkan
ke tek-teks ayat Alquran atau buku-buku bacaan bermutu. Pantatnya
tidak untuk duduk berjam-jam main games tanpa bosan, melainkan
tepekur mentadaburi Alquran atau menelaah sebuah pengetahuan.
Pendengarannya bukan dijejali lagu-lagu cinta
nan memabukkan, melainkan dipenuhi oleh dengungan murottal. Mulutnya
sibuk merapal ayat-ayat Alquran, bukan menghafal lirik-lirik lagu
Barat. Kakinya dilangkahkah ke forum-forum kajian, bukan ke
tempat-tempat maksiat. Tak ada kabar remaja Islam sibuk pacaran. No
way! Merekapun jauh dari otak kriminal. Yang ada adalah bagaimana
menjadi remaja mulia yang berperilaku Islami.
Wajarlah jika peradaban Islam sukses melahirkan
ilmuwan-ilmuwan belia, agamawan-agamawan muda, ahli-ahli
ilmu-pengetahuan yang “masih ingusan”. Bahkan melahirkan
pemimpin, panglima perang dan khalifah yang masih remaja. Bisakah
sosok-sosok seperti ini kita lahirkan kembali, saat ini juga, untuk
mengganti generasi remaja yang kian rusak?
Keluar Sistem
Sungguh tidak mudah keluar dari peradaban
sekuler yang mengungkung kita. Keberanian, kerja keras dan
sungguh-sungguh harus kita upayakan untuk mendidik generasi Islam
agar memiliki karakter seolah-olah lahir dari bimbingan peradaban
Islam. Keberanian untuk keluar dari sistem. Melawan arus.
Antimainstream.
Ya, karena sistem saat ini masih sekuler, tentu
cara mendidik anak-anak dan remaja kita harus keluar dari mainstream
sekuler. Para orangtua sebagai pendidik dan pelahir generasi, saatnya
mendidik anak-anak dengan menciptakan suasana seperti hidup dalam
perdaban Islam.
Di rumah, dididik dengan agama. Halaqoh sejak
anak-anak. Diberikan wawasan keislaman. Dijelaskan kerusakan gaya
hidup sekuler Barat. Ditanamkan halal dan haram. Diajak berdiskusi
dengan berbagai tema. Dipahamkan rambu-rambu pergaulan dan
seterusnya.
Di sekolah, dititipkan dalam lembaga pendidikan
Islam yang melahirkan generasi Qurani. Seperti sekolah tahfiz
Alquran, pesantren atau boarding school yang menggenjot kemampuan
kepemimpinan, tanggungjawab, kejujuran dan faqih-fiddin.
Jangan biarkan anak-anak menghabiskan waktu
emasnya untuk bermain-main, iseng-iseng atau berleha-leha. Memang
butuh kerja keras. Kerja cerdas dan kerja ekstra. Sebab, tidak ada
dukungan sistem, sehingga harus orangtua, pendidik dan lingkungan
yang menciptakan sistem itu sendiri.
Ingatlah, mereka, anak-anak yang kita didik
hari ini, adalah para calon pemimpin di era khilafah yang sebentar
lagi akan berdiri atas izin Allah SWT. Merekalah cikal bakal para
pemimpin Islam itu. Mereka kita siapkan sejak sekarang untuk era
Khilafah.
Begitu besar pekerjaan rumah kita, untuk
membalik peradaban sekuler ini menjadi peradaban Islam. Mengubur
dalam-dalam peradaban sekuler yang rusak berganti dengan peradaban
Islam. Sebuah cita-cita besar yang harus dilakukan dengan upaya yang
besar dan dukungan dari orang-orang besar. Semoga Allah SWT segera
mewujudkan mimpi besar ini. Aamiin.(kholda)
No comments:
Post a Comment