OLEH
Kholda Naajiyah
Indonesia,
untuk kali pertama didaulat menjadi tuan rumah Miss World 2013.
Sebanyak 130 kontestan akan berkompetisi untuk meraih mahkota wanita
tercantik sejagad. Miss World 2012 Yu Wenxia dari RRC akan datang dan
menyematkan pada pemenang Miss World 2013. Hingga Jumat (5/4/2013)
sudah 39 kontestan konfirmasi untuk mengikuti ajang kontes kecantikan
itu.
Indonesia
diwakili Miss Indonesia 2013 Vania Larissa. Sementara itu, menurut
missindonesia.co.id, Chairwoman Miss Indonesia Organization Liliana
Tanoesoedibjo, lebih dari 100 negara telah memiliki hak siar untuk
acara final Miss World. Malam final akan disiarkan ke 140 negara. Hak
siar di Indonesia dipegang MNC Group (hidayatullah.com)
Rencananya,
karantina peserta dilaksanakan di Nusa Dua Bali. Sedangkan puncak
acara digelar di Sentul International Convention Center (SICC) Bogor,
Jabar, 28 September 2013. Sedangkan malam penobatan digelar di Sentul
International Convention Center Bogor.
Gubernur
Ahmad Heryawan pun menyatakan dukungannya. “Ajang Miss World ini
berbeda dengan ajang sejenis lainnya karena saat puncak acara tidak
menggunakan bikini, Insya Allah lebih sopan,” katanya.
Sontak
pernyataan gubernur itu mendapat kecaman. Umat Islam Bogor yang
terdiri dari para ulama, umaro dan aktivis dakwah dari berbagai ormas
dan lembaga Islam dengan tegas menyatakan penolakannya atas rencana
digelarnya Miss World 2013, baik di Bogor maupun di seluruh wilayah
Indonesia.
Para
pimpinan ormas Islam itu dalam pernyataan sikapnya, meminta kepada
pihak pemerintah, melalui Walikota Bogor, Bupati Bogor, Kapolres
Bogor, Gubernur Jawa Barat, Kapolda Jawa Barat, maupun instansi
lainnya agar tidak mengijinkan acara Miss World tersebut.
(http://www.voa-islam.com, 9/4)
Dalam
acara milad ke 13 Keluarga Muslim Bogor (KMB), Sabtu 06/04/13,
sejumlah elemen Islam diantaranya MUI Kota Bogor, FKUB, ormas
Muhammadiyah, NU, Persis, Aisyiah, HASMI, HTI, Fos Armi, Garis, BSMI,
FUI, PPI, dan dari kalangan partai seperti PAN, PPP, PBB, serta
elemen umat Islam lainnya. Mereka sepakat menandatangani pernyataan
menolak gelaran yang akan disaksikan publik dunia itu.
BUKAN
SEKADAR BIKINI
Penolakan
ajang Miss World wajar terjadi. Selama ini, ¨hanya¨ mengirimkan
duta kontes kecantikan tingkat internasional saja ditentang
masyarakat, khususnya umat Islam. Apalagi bila penyelenggaraannya di
Indonesia.
Alasan
¨tanpa bikini¨ tidak bisa diterima, mengingat ajang kontes
kecantikan bukan sekadar masalah bikini. Itu terlalu dangkal. Kontes
kecantikan itu menyangkut ideologi. Apapun namanya, kontes kecantikan
itu didasari paradigma bahwa perempuan itu objek keindahan yang bisa
dinilai fisiknya. Cantik pun menjadi ukuran, yakni bodi langsing,
kulit mulus, hidung mancung, dan wajah fotogenik. Itu sudah menjadi
ideologi kontes kecantikan sejak dulu.
Apalagi
Miss World, sejarah pertama dicetuskannya memang untuk mencari model
pakaian renang alias bikini. Sudah tentu yang dijual adalah kemolekan
tubuh para perempuan itu. Kontes kecantikan hanyalah stempel bagi
legalisasi eksploitasi tubuh perempuan agar tampak elegan.
Mendukung
ajang ini sama saja dengan melanggengkan penjualan tubuh perempuan.
Sungguh aneh jika ada kalangan muslim yang mendukung ajang maksiat
ini.
Sebab,
Islam menempatkan perempuan pada posisi mulia, sebagai kehormatan
sebuah keluarga bahkan sebuah bangsa. Perempuan harus dihargai, bukan
dieksploitasi. Penyematan gelar tercantik bukanlah bentuk
penghargaan, jika ujung-ujungnya mereka ¨dijual¨ sebagai daya tarik
sebuah komoditi.
Nilai
seorang perempuan ditentukan oleh ketakwaan dan sumbangsihnya bagi
kebaikan dan perbaikan masyarakat. Karenanya perempuan yang mulia
bukanlah yang paling aduhai bodinya, mulus kulitnya atau proporsional
ukuran fisiknya, melainkan yang berdedikasi mencurahkan waktu, ilmu
dan hartanya untuk kemaslahatan masyarakat.
JAHILIYAH
MODERN
Kontes
kecantikan adalah bagian dari industri kapitalisme, dimana perempuan
menjadi ujung tombaknya. Perempuan cantik diorbitkan untuk
mendongkrak image sebuah produk. Mereka menjadi pion-pion para
sponsor yang terlibat dalam ajang tersebut. Seperti produk pakaian,
baju renang dan kosmetik.
Kontes
kecantikan tidak akan mendatangkan kehormatan bagi kaum perempuan.
Sebaliknya, kontes ini justru merontokkan harkat dan martabat kaum
perempuan. Perempuan kembali hanya dilihat dari segi penampilan
fisiknya saja. Sungguh rendah. Persis seperti zaman jahiliyah.
Ini
jelas suatu memunduran atas apa yang disebut sebagai perjuangkan
harkat dan martabat perempuan. Ironisnya, para pejuang perempuan yang
katanya memperjuangkan kesetaraan perempuan itu, diam seribu bahasa.
Seharusnya mereka yang jadi terdepan menentang kontes-kontes yang
melecehkan kaum perempuan. Bukankah selama ini mereka selalu
mengembar-gemborkan agar kaum perempuan tidak dijajah dan
dieksploitasi?
LIBERALISASI
BUDAYA
Selama mengikuti Miss World, belum pernah ada kontestan Indonesia
yang memenangkan selempang Ratu Sejagat ini. Lalu kenapa negara ini
bisa menjadi tuan rumah? Tentu bukan kebetulan jika Indonesia dipilih
sebagai tuan rumah perhelatan Miss World 2013. Ada motif ideologis
sekaligus ekonomis di baliknya.
Motif
ideologis, yakni mengingat posisi Indonesia sebagai negara
berpenduduk muslim terbesar di dunia. Dalam kancah percaturan global,
negara ini semakin dipandang sebagai kiblat dunia muslim. Penerimaan
Indonesia atas Miss World akan meneguhkan opini bahwa Islam tidak
mempermasalahkan eksistensi perempuan melalui kontes kecantikan.
Hal
ini akan menjadi model bagi negeri-negeri muslim lain agar lebih
toleran dan terbuka terhadap ¨kemajuan¨ kaum perempuan. Dari
sinilah dijajakan pemahaman tentang kebebasan berekspresi dan gaya
hidup hedonis. Pemenang kontes kecantikan akan menjadi ikon bagi
perempuan, termasuk para muslimah dalam memandang makna kebahagiaan
hidup, yakni berupa kecantikan, ketenaran dan berlimpahnya materi.
Adapun
motif ekonomis, sangat jelas karena populasi 250 juta penduduk negeri
ini adalah market menggiurkan bagi penjualan berbagai komoditi.
Pemegang hak siar malam final Miss World yang di Indonesia di tangan
MNC misalnya, dipastikan akan meraup pundi-pundi rupiah dari para
pemasang iklan yang mengerubutinya. Belum lagi penjualan
produk-produk para sponsor.
Bukan
tidak mungkin, demi memuluskan dua motif itu, gelar Miss World pun
akan disematkan kepada kontestan tuan rumah. Jika itu terjadi,
sungguh bukan sebuah kebanggaan melainkan petaka. Naúzubillah.(*)