-->
Oleh Kholda Naajiyah
Saat ini didengungkan wacana ¨abad
partisipasi penuh perempuan¨ (full partisipation age).
Seperti pernah dilontarkan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton
tentang vitalnya peran perempuan saat ini bagi kemajuan dunia. Lantas
seperti apa sih partisipasi penuh yang diinginkan?
KEPEDULIAN SEMU
Di Barat, partisipasi perempuan bisa
dibilang sudah full. Hampir tidak ada batasan apapun di sana,
dimana perempuan bebas mengekspresikan diri. Semua sektor sudah
dirambah perempuan. Mulai profesi hina seperti wanita panggilan
hingga pejabat nomor satu sekelas presiden, bisa dijabat perempuan.
Kurang apalagi? Sudah kebablasan malah. Lalu mengapa masih
didengungkan abad partisipasi penuh perempuan?
Tak lain, propaganda ini menyasar
perempuan di negeri-negeri muslim. Khususnya negara-negara di dunia
ketiga yang masih dianggap malu-malu membebaskan kaum hawa dari
belenggu nilai-nilai suci agama Islam. Bahkan, masih ditemukan negara
yang sangat rigid (ketat, red) dalam memperlakukan perempuan. Semisal
perempuan sama sekali tidak boleh keluar rumah, tidak boleh sekolah,
menyetir kendaraan sendiri, dll.
Tentu saja, harapan akan partisipasi
penuh perempuan ala sekuler-kapitalis ini, tidak murni atas dasar
kasih sayang dan kepeduliannya pada kaum perempuan. Barat sama
sekali tidak tulus memuliakan perempuan serta mengangkat harkat
mereka ke derajat semestinya. Sebaliknya, justru ingin mengeluarkan
perempuan dari harkat dan martabatnya demi sebuah ambisi tertentu
yang berujung pada rusaknya tata nilai kehidupan islami.
Berkaca pada kondisi di Barat, sudah
lama kiprah perempuan yang melanggar fitrahnya, justru hanya
menghasilkan malapetaka sosial. Seperti tingginya pelecehan dan
kekerasan seksual, seks bebas, perceraian, single parent, anak
bermasalah, dll. Kondisi inipun sudah mulai menular di negeri-negeri
muslim, meski partisipasi perempuan di ranah publik bisa dibilang
belum full. Masalahnya, perempuan yang berkontribusi untuk
rumah tangga tidak dianggap berdaya alias dinilai tidak
berpartisipasi.
Nah, apa jadinya jika semua muslimah
mengambil peran di ranah publik atas dasar paradigma full
partisipation age? Padahal, belum full saja partisipasi
perempuan, sudah sedemikian rusak dampaknya. Tak terbayang, bagaimana
jika para perempuan benar-benar terlibat penuh dalam segala hal.
MOTIF EKONOMI
Perhatian pada perempuan untuk
meningkatkan perannya saat ini, sarat dengan kepentingan ideologi
kapitalis. Ada motif ekonomis, dimana para perempuan diharapkan
menjadi penyelamat perekonomian dunia yang saat ini tengah kolaps.
Terutama di Barat, krisis multidimensi
hampir tak terperikan. Nah, dunia Islam diharapkan mampu
menjadi penyelamatnya. Termasuk muslimah yang jumlahnya mayoritas di
dunia ini, diharapkan memiliki kontribusi besar dalam menyelamatkan
keadaan tersebut.
Lantas peran seperti apa yang
diharapkan kapitalsime global itu? Pertama, muslimah didorong
sebagai penghasil uang. Perempuan diberdayakan secara fisik, baik
dengan bekerja di sektor-sektor industri, jasa, bahkan hiburan.
Selain itu, digelontorkan pula modal khusus perempuan agar memiliki
usaha rumahan sehingga menjadi perempuan mandiri secara finansial.
Dengan kiprah mereka di bidang ekonomi ini, perempuan turut
menggelindingkan roda perekonomian.
Kedua, perempuan didorong
berperan dalam mengaruskan konsumtivisme. Berkat kemandirian
finansial dimana perempuan mampu menghasilkan uang sendiri, maka
perempuan tetap memiliki daya beli. Ia pun mampu memenuhi hasrat
konsumtifnya. Tingginya tingkat konsumtivisme akan mendorong proses
produksi sehingga mampu memutar roda perekonomian. Perempuan pun
makin enjoy dan bahagia karena bisa memenuhi kebutuhan
konsumtifnya sendiri tanpa harus bergantung pada laki-laki.
Siapa yang diuntungkan? Barat.
Bukankah para perempuan (Indonesia) begitu silau dengan produk-produk
asing? Pasar bebas meniscayakan banjirnya produk-produk asing dan
menggilas produk dalam negeri, bahkan yang dihasilkan kaum perempuan
yang capek-capek diberdayakan pemerintah melalui model pemberdayaan
ekonomi keluarga itu sendiri.
Itulah motif sesungguhnya, mengapa
perempuan dimotivasi agar lebih maksimal berpartisipasi dalam proses
ekonomi, yakni menyelamatkan krisis Barat. Mereka didorong
menghasilkan uang dan membelanjakan uang itu untuk memanjakan diri,
hal yang sangat fitrah disukai kaum perempuan itu sendiri.
Lihat saja bagaimana perilaku para
perempuan eksekutif yang berkecukupan materi. Senin sampai Jumat
berjibaku dengan waktu, memeras energi habis-habisan. Tiba akhir
pekan, mal dan tempat hiburan jadi jujukan untuk menghamburkan uang.
Fenomena ini kian melanda para perempuan, tak terkecuali muslimah.
PERAN MEMBANGKITKAN
Berbeda dengan Barat, Islam
menempatkan perempuan pada posisi bermartabat. Peran kaum muslimah
ini sudah digariskan dengan jelas. Bahwa perempuan memiliki peran
utama di rumah, sebagai ummun wa robbatul bayt dan pendidik
anak. Karena itu, Islam memberi perhatian lebih pada peran vital
perempuan dalam pembentukan keluarga dan pelahir generasi ini.
Misalnya, Islam tidak membebankan
masalah finansial pada perempuan, sehingga ia fokus mengurus rumah
tangga dan anak-anak. Namun, ia berdiri men-support suami
guna menguatkan perannya dalam berbagai kiprah. Perannya ini akan
menjaga bangunan institusi keluarga sebagai unit terkecil dari
masyarakat dan negara.
Tentu saja, muslimah diwajibkan cerdas
dengan terus menuntut ilmu dan mengkaji tsaqofah sebagai bekalnya.
Darimana mendapatkan ilmu ini? Jika tak mampu diperoleh di rumah,
dibolehkan keluar rumah seperti ke majelis ilmu atau pendidikan
formal. Siapa yang mengajarkan? Bisa sesama muslimah. Karena itu,
peran strategis muslimah di ranah publik juga sebagai daiyah yang
berkontribusi dalam mencerdaskan kaumnya.
Peran ini bukan remeh temeh. Ini
adalah peran politik dan strategis perempuan dalam pandangan Islam
yang memiliki kontribusi sangat besar dalam pembentukan keluarga yang
tangguh, generasi terbaik dan masyarakat madani.
Karena itu, semestinya
pengarus-utamaan peran muslimah saat ini adalah berupa pencerdasan
politik pada perempuan. Ini agar mereka memahami hakikat diri dan
berkiprah sesuai fitrahnya. Jangan sampai muslimah tenggelam dalam
arus pemberdayaan ala Barat yang akan menggerus dan selanjutnya
menghilangkan identitasnya sebagai muslimah sejati.(kholda)
Istri Gubernur Jawa Barat, Netty Prasetiyani Heryawan saat berkunjung ke Graha Pena Radar Bogor. (Foto by Sofyansah. Location: Graha Pena, Yasmin, Bogor) |
No comments:
Post a Comment