Bumi bebas polio 2020. Begitu target yang
dicanangkan dunia, hingga di Indonesia 8-15 Maret lalu digeber Pekan
Imunisasi Nasional (PIN). Kehebohan kembali menghebat, khususnya di
kalangan keluarga muslim pengemban dakwah.
Ibu-ibu pemilik balita galau. Anak tak
divaksin, takut beneran terserang penyakit berbahaya itu. Mau
divaksin, juga takut malah berefek buruk. Maklum, di era keterbukaan
informasi ini, begitu banyak kabar-kabar tentang vaksin yang membuat
ibu-ibu pusing tujuh keliling. Maju mundur ambil sikap: yes or no.
Penyulut Perdebatan
Perdebatan soal vaksin tak ada habis-habisnya
menyangkut: (1) hukum vaksinasi; (2) halal tidaknya bahan vaksin; (3)
perlu/penting tidaknya vaksinasi; dan (4) isu konspirasi dalam
program ini. Pertama, soal hukum vaksin, sudah banyak diungkap ulama
yang kapabel, misalnya Ustad Atha' bin Khalil Abu ar-Rasytah, bahwa
vaksin hukumnya mandub (boleh).
Vaksin dilakukan untuk mencegah penyakit. Sama
dengan pengobatan. Berobat sendiri mandub. Jadi silakan pilih, mau
vaksin atau tidak. Dua-duanya boleh. Kecuali jika jenis tertentu dari
vaksinasi itu membahayakan, seperti bahannya rusak atau membahayakan
karena suatu sebab tertentu, maka vaksinasi menjadi haram (lihat
tanya jawab dengan amir Hizbut Tahrir).
Kedua, soal halal tidaknya bahan vaksin itu
sendiri. Ini penting bagi yang provak, karena yang antivak sudah
titik. Berbagai sumber menyebut, belum ada vaksin yang halal. Info
menyebut, bahan baku vaksin umumnya diambil dari babi. Tapi, sumber
lain menyebut, penggunaan babi hanya sebagai katalisator. Jadi tidak
melebur dengan bahan dasar vaksin itu sendiri. Jadi belum tentu
haram.
Tapi, jika bahan vaksin tidak halal pun, ada
ulama yang menyebutkan bahwa berobat dengan yang haram adalah makruh.
Jadi, misal Anda dipaksa vaksin meningitis jika akan masuk ke Arab
Saudi, sementara vaksin yang ada belum halal, maka hukumnya makhruh.
Vaksin untuk PIN Polio 2016 lalu, sebanyak 20
juta dosis diproduksi oleh Bio Farma (detikHealthHealth, 8/1/16) pun,
juga belum bersertifikat halal. Sebab, bahan bakunya tetap impor.
Tapi, Bio Farma yang telah melayani 2/3 atau 70 persen kebutuhan
dunia berkomitmen, untuk penemuan vaksin-vaksin jenis baru akan
berusaha memproduksi yang halal. Ya, baru sebatas komitmen.
Yang jelas, selama ini, masyarakat umumnya,
hampir-hampir tidak pernah mempertanyakan kehalalan obat-obatan yang
biasa dikonsumsi. Misal obat toko yang banyak beredar di pasaran,
baik pil, tablet maupun sirup. Industri farmasi kita belum menerapkan
labelisasi halal secara menyeluruh (karena memang seharusnya sudah
dijamin negara).
Sehingga 2013 saja, dari 18 ribu jenis obat
yang beredar, baru 22 yang mengantongi sertifikat halal MUI. Artinya
masih sangat kecil, kurang dari 1 persen (Voa-islam.com, 21/12/13).
Bahkan isu sertifikasi halal untuk produk obat-obatan ini cukup
mengguncang industri farmasi. Intinya mereka tidak sanggup. Ini
karena 95 persen bahan masih mengimpor dari luar (hukumonline.com,
11/6/2015).
Jadi, sejatinya masyarakat cukup biasa berobat
dengan cara makhruh. Berobat dengan yang belum berlabel halal.
Upaya Preventif
Ketiga, menyoal perlu (baca: penting) tidaknya
vaksinasi. Ada yang berpendapat, tak perlu vaksin. Jika menerapkan
pola hidup sehat, tidak akan kena penyakit membahayakan. Tubuh punya
imunitas sendiri. Apakah ada jaminan? Tidak. Manusia hanya berikhtiar
melakukan upaya preventif. Tapi, tetap ini sikap yang juga boleh.
Tawakal kepada Allah SWT saja.
Tapi, vaksin sebagai bagian dari cara
pencegahan, juga sah. Lalu apakah jaminan juga, jika sudah vaksin
tidak akan kena penyakit berbahaya? Tidak. Keberhasilan program ini
tergantung kontribusi masyarakat. Melenyapkan kuman dari muka bumi
ini, membutuhkan peran serta seluruh masyarakat. Kompak. Serentak.
Kalau di satu wilayah sudah vaksin, sementara
di wilayah lain belum, artinya kuman masih eksis. Itu artinya program
vaksin bisa gagal. Maka itu program vaksin (untuk beberapa jenis)
sampai diulang berkali-kali, seperti polio ini. Agar kuman
benar-benar lenyap. Jadi, ini juga bagian dari ikhtiar. Silakan.
Jadi, seberapa penting vaksin (harus)
dilakukan? Silakan membaca sejarah penemuan vaksin itu sendiri, dan
bagaimana dampaknya bagi kesehatan masyarakat. Dalam banyak kasus,
vaksinasi masal terbukti efektif mencegah penyakit-penyakit
berbahaya. Bahkan menghilangkan kuman-kuman berbahaya dari muka bumi.
Bagaimana dengan fakta kegagalan vaksin dalam
beberapa kasus? Namanya ikhtiar, kegagalan pasti ada. Itu disebabkan
banyak faktor. Terkait kondisi tubuh manusia yang divaksin, bahan
vaksin yang mungkin rusak/kadaluarsa, dll.
Bagaimana dengan pandangan berikut: melakukan
vaksin sama saja mendahului takdir. “Ah, nanti kalau sakit, ya itu
memang qodho”. Mencegah adalah ikhtiar, perkara sakit itu lain.
Banyak yang rutin minum madu atau produk-produk herbal, karena yakin
sebagai ikhtiar untuk imunitas tubuh, apakah ini juga mendahului
takdir? Sama halnya kita menabung dengan niat baik, khawatir jika
tiba-tiba ada keperluan mendadak, apakah ini juga mendahului takdir?
Konspirasi Genocida?
Keempat, benarkah adanya isu konspirasi di
balik program vaksinasi? Benarkah tujuannya justru untuk melemahkan
dan membunuh masal generasi-generasi muslim? Barat khawatir dengan
kebangkitan dan kekuatan umat Islam. Maka dibuatkan rekayasa genocida
masal melalui vaksinasi.
Dalam dunia yang disetir para pengemban
ideologi kapitalis, hal seperti itu mungkin saja terjadi. Karena,
kita tidak pernah tahu seberapa dalamnya kebencian mereka terhadap
umat Islam. Seberapa jahatnya membuat makar.
Tetapi, program vaksin toh bukan hanya digeber
di kalangan muslim. Juga ada di masyarakat Barat kafir. Yang pasti,
membuktikan teori konspirasi tidak mudah. Membutuhkan
pengakuan-pengakuan para pelakunya langsung. Juga, dibukanya
dokumen-dokumen rahasia yang tidak bisa begitu saja diperoleh secara
transparan. Terlalu berat bagi ibu-ibu.
Temuan Sains
Vaksin adalah salah satu penemuan revolusioner
di bidang kedokteran. Penemuan ini murni hasil rekayasa sains dan
teknologi. Jadi, termasuk madaniyah dan bukan hadhoroh yang khas
ideologi kufur. Muslim boleh memanfaatkannya.
Upaya mencegah penyakit yang lebih efektif
daripada mengobati. Kita tahu, berobat ke dokter atau rumah sakit
saat ini mahalnya luar biasa. Apalagi jika terkena penyakit berat dan
mematikan. Jika ada upaya pencegahan, tentu tidak boleh apriori.
Memang, kegalauan soal vaksin ini sementara
hanya bisa disikapi secara individual. Belum bisa secara sistemik.
Inilah susahnya hidup dalam naungan sistem sekuler. Bahkan ibu-ibu
pun dibuat bingung hanya untuk memilih sikap vaksin atau tidak.
Kelak, kita membutuhkan pemimpin yang bisa
dipercaya umat, yang kita sumpah-taati (bai'at in'iqod), baik sepakat
maupun tidak sepakat soal vaksin. Kita tunduk mengikuti perintah Sang
Khalifah. Karena, imam adalah pemelihara dan dia bertanggungjawab
atas pemeliharaannya (HR al-Bukhari dari Abdullah bin Umar). Semoga
Allah SWT segera menghapuskan kegalauan para bunda dengan hadirnya
Sang Imam. Tapi jika saat ini belum ada, kembalikan pada pemahaman
dan keyakinan ibu-ibu. Vaksin atau tidak, dua-duanya ikhtiar.
Wallahu'alam.(kholda/dari berbagai sumber).
* Rubrik Muslimah Media Umat Edisi 170
Foto: ayobandung.com
No comments:
Post a Comment