Musium apa museum? Foto: Asri. Lokasi: Gunung Merapi. |
Alkisah ada seorang bule datang ke Indonesia.
Jauh-jauh hari udah getol nih belajar Bahasa Indonesia. Iya dong,
untuk memudahkan komunikasi. Soalnya ia denger-denger, orang
Indonesia banyak yang nggak menguasai Bahasa Inggris.
Saat hendak menuju Monumen Nasional (Monas),
untuk meyakinkan arahnya, bertanyalah ia pada seorang pemuda alay
yang nongkrong dekat Stasiun Gambir. Bule: “Maaf, benarkah jalan
menuju Monas yang ke kanan?” Jawab si Alay: “Yoi.”
Si bule kebingungan, sambil buka kamus
percakapan Bahasa Inggris-Bahasa Indonesia, nyari-nyari arti kata
“yoi”. Sampai kesemutan juga nggak ketemu dah. Ya, pastinya orang
bule itu belajar Bahasa Indonesia sesuai dengan Ejaan Yang
Disempurnakan (EYD) di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Sementara kita? Banyak banget yang nggak ngerti
Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahasa baku sama sekali nggak
populer. Nulis EYD pun salah-salah melulu. Kalo ngerti pun, kadang
juga nggak dipraktikkan. Merasa terlalu kaku. Kurang luwes kalo buat
percakapan sehari-hari. Apalagi kalo buat guyonan, masak harus pakai
EYD? Hehe...
Walhasil, Bahasa Indonesia baku kini kalah
populer sama bahasa alay. Entah siapa pelopor dan produsennya, kini
istilah-istilah alay alias bahasa gaul sangat meng-Indonesia (atau
mungkin sudah mendunia, ya?).
Awalnya populer di kalangan sendiri, di geng
atau kelompoknya. Dari mulut ke mulut aja. Buat chating seru bareng
temen-temennya, lanjut booming di media sosial. Akhirnya nggak hanya
anak alay, para netizen yang biasa connect dengan dunia maya, hampir
dipastikan pakai bahasa alay.
Padahal, gaya bahasanya bener-bener melabrak
kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Cenderung nyeleneh,
rumit, sulit dimengerti dan bahkan dibolak-balik kayak gorengan aja.
Orang yang nggak ngerti dibikin mengernyitkan dahi untuk mencerna
maknanya. Biasanya baru ngeh setelah
dikasih tahu arti sebenarnya.
Contohnya istilah gaje, gajebo, bingit, mihil,
cius miapa, curcol, cukstaw, cemungut, japri, bais, boil, afgan,
kamseupay, unyu, woles, prikitiew, baper, mager, dll. Ada lagi yang
singkatan macam GJ, PM, PW, DL, CMIIW, GWS, KEPO, PHP, dll. (ada yang
belum tahu kepanjangannya? PR ya, hehe...).
Mengancam Eksistensi
Emang sih, anak-anak sekarang kreatif bikin
bahasa-bahasa gaul kayak gitu. Iya sih, sah-sah aja buat percakapan
sehari-hari, karena bikin luwes dan akrab. Asal sesuai waktu dan
tempat aja penggunaannya. Tapi, jangan keterusan dan kebablasan
banget bikin bahasa alay-nya. Sampai menjungkir-balikkan ejaan
sebenarnya.
Soalnya, tanpa disadari, lama-lama bahasa ini
dapat mengancam eksistensi Bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Kata-kata yang benar hilang berganti kata-kata gaul. Selain itu,
berkembangnya bahasa tersebut dapat mengancam kemampuan berbahasa
generasi muda zaman sekarang, karena jauh sekali dari kaidah-kaidah
yang sesuai dengan EYD.
Ingat ya, kemampuan berbahasa yang baik dan
benar itu sangat penting. Sama pentingnya (atau bahkan lebih
penting?) dengan penguasaan ilmu matematika, biologi, dll. Bayangkan,
dalam kehidupan sehari-hari, kita nggak lepas dari komunikasi. Itu
artinya bahasa kita gunakan setiap hari, sepanjang masa, sepanjang
usia, dan seumur hidup. Di manapun dan kapanpun, kita memerlukan
bahasa. Komunikasi juga nggak hanya lisan, tapi tulisan.
Hari ini, sangat sedikit orang yang bisa
menulis EYD dengan baik dan benar. Bahkan untuk hal-hal kecil yang
tampak sepele, banyak nggak tepatnya. Seperti menulis nama jalan,
nama instansi, tanda-tanda peringatan di tempat umum dan bahkan nama
gerobak pedagang kaki lima atau pantat truk pun salah.
Misal: Jual Mie Ayam, Tata Tertip Sekolah dan
Tiket Bis. Seharusnya Jual Mi Ayam, Tata Tertib Sekolah dan Tiket
Bus. Itu baru soal ejaan kata. Belum lagi soal titik koma,
di-ke-dari, me-ber-pe, pun, dan imbuhan-imbuhan lainnya. Belum lagi
soal sinonim, antonim, akronim, dll.
Anehnya, semakin ke sini, Bahasa Indonesia
menjadi semakin tidak diminati untuk dipelajari dengan
sungguh-sungguh. Buktinya, pelajaran Bahasa Indonesia kerap
dinomorsekiankan. Dipandang remeh sebagai pelajaran yang “mudah”.
Toh nanti juga bisa dengan sendirinya. Begitu pikiran anak-anak muda.
Bahkan mereka nggak merasa keren jika menguasai EYD.
Sebaliknya, lebih merasa hebat kalo bisa
menguasai bahasa alay. Juga, lebih getol mempelajari bahasa asing
yang sedang happening.
Seperti Bahasa Inggris, Jepang atau Korea. Padahal, sebagai orang
yang lahir di Indonesia, mustinya bahasa inilah yang kita gunakan
dalam kondisi formal maupun tidak formal. Bukan mengajarkan
nasionalisme ya, tapi karena faktanya memang kita hidup dalam
lingkungan Bahasa Indonesia sebagai “bahasa ibu” kita.
Bahasa Masa Depan
Okelah, kalo sekarang kita masih asyik-masyuk
sama bahasa alay, tunggu beberapa tahun ke depan. Masa depan bahasa
gaul itu biasanya nggak bertahan lama. Akan ada lagi trend bahasa
baru yang bakal menenggelamkan bahasa-bahasa gaul. Itu juga kalo
kamu-kamu sadar untuk tidak ikut melestarikan bahasa alay. Kurangi
dan mulailah berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Lagipula, bahasa alay itu nggak bakal bisa
mengglobal. Nggak bakal mendunia. Sulit kalau bahasa alay dijadikan
bahasa resmi pergaulan masyarakat internasional. Contohnya si bule
tadi, bingung dong gimana cara mempelajari bahasa alay. Nggak ada
aturan bakunya. Kalau pun mau dimasukkan dalam bahasa formal di KBBI,
butuh proses panjang dan nggak mudah.
Nah, kalo kita bicara soal posisi kita sebagai
muslim, bahasa utama yang kudu kita kuasai sebenarnya adalah Bahasa
Alquran, yakni Bahasa Arab. Itu juga salah satu kewajiban. Apalagi di
era mendatang, Bahasa Arab adalah bahasa masa depan. Sebabnya, 10, 20
atau 30 tahun lagi akan berdiri sistem Khilafah Islam yang notabene
Bahasa Arab sebagai bahasa resminya.
So, generasi muda muslim sekarang kudu ngebut
belajar Bahasa Arab. Sebab, di masa mendatang, kalianlah para
pemimpin-pemimpin yang akan hidup dalam peradaban Islam yang telah
tegak. Masak pemimpin nggak bisa bahasa resmi, malu dong.
Hari gini belajar bahasa itu relatif mudah,
bukan? Kalian sudah membuktikan, begitu singkatnya menyerap bahasa
alay. Nah, kenapa nggak dengan Bahasa Arab? Sarana dan prasarana
belajar bahasa sekarang banyak. Metode-metode terbaru cara belajar
Bahasa Arab juga ditemukan oleh para pakarnya. Tinggal pilih aja,
cocoknya pakai metode mana. Yang jadi masalah, udah ada tekad mau
belajarnya apa belum? Itulah PR kita untuk memiliki kemampuan bahasa
dengan baik dan benar. So, sembari terus mempelajari Bahasa Indonesia
sesuai EYD, belajar juga tuh Bahasa Arab. Siap?(asri)
No comments:
Post a Comment