*
Sekulerisasi dan liberalisasi melahirkan manusia durhaka
Zaman
sudah edan. Setelah fenomena ibu kandung membunuh anak, muncul pula
anak yang berusaha memenjarakan ibunya. Di Tangerang, sebelumnya rame
dengan kasus nenek Fatimah (90) yang digugat anak kandung dan
menantunya. Di Bogor, Titin Suhartini (48) juga digugat suami dan
anak kandungnya.
Jika
nenek Fatimah digugat Rp1 miliar (pengadilan membebaskan dari hukuman
tapi penggugat masih banding), Titin diancam penjara 3 bulan jika
tidak mengosongkan rumah yang jadi sengketa. Ya, semua gara-gara
harta.
Cerita
bermula, saat Titin yang bercerai medio 2013, membeli rumah di
Perumahan Taman Cibalagung Kota Bogor, hasil pembagian harta
gono-gini dari penjualan rumah lamanya dengan suami. Namun rumah itu
ternyata diatasnamakan anak keduanya, Princes Gusti Santang yang
selama ini tinggal bersama sang ayah. Nah, Princes ini kemudian
menjadi penggugat Titin karena menghendaki ibu dan lima adiknya
keluar dari rumah yang diakui haknya itu (Radar Bogor, 17/12).
"Kenapa
tidak diselesaikan secara kekeluargaan saja. Kan, saya ibu
kandungnya. Saya yang melahirkan," kata Titin berurai air mata.
Sejak sengketa tanah meruncing Oktober lalu, kesehatan Titin menurun.
Ia stres dan syok. Begitulah derita Titin akibat ulah darah
dagingnya.
BUAH
MATERIALISASI
Sungguh
menohok sanubari, jika hanya gara-gara harta, anak tega memutuskan
tali darah dengan ibunya. Ya, keperihan hati ibu bukan layaknya
goresan luka di permukaan kulit yang mudah mengering. Kalau sampai
ibu murka, adalah wajar karena anaknya kelewat kurang ajar.
Memang,
ibu bukanlah makhluk 100 persen sempurna. Tapi, anak pun lebih-lebih
ketidak-sempurnaannya. Mungkin ibu pernah menorehkan luka selama
mengasuh, mendidik dan membesarkan sang anak. Tapi, anak pun tak
kurang-kurangnya memicu nestapa ibu dengan tingkah polahnya. Lalu
dalil mana yang membolehkan anak membalas dendam?
Selayaknya,
anaklah yang memberi ibu, bukan merebut apa yang jadi miliknya.
Alangkah indahnya jika anak telah dewasa dan ibu beranjak renta, anak
berusaha sekuat tenaga memberi sebanyak-banyaknya segala hal yang
dapat membahagiakan sang bunda. Makanan, pakaian, uang, rumah dan
segala jenis harta lainnya. Walaupun sejatinya, ibu tak pernah
meminta. Perhatian, kepedulian dan kasih sayang saja yang dia
inginkan.
Lagipula,
sebanyak apapun pemberian itu, tak akan mampu membayar lunas
jasa-jasa mulianya. Harta segunung, sebumi, ditambah selaut dan
selangit, tidak akan menambah berat neraca balas jasa itu.
Pengorbanan materi, fisik, jiwa, pikiran, kesabaran, ketelatenan dan
kasih sayang ibu, semuanya tidak bisa ditimbang secara matematis.
Tapi, jikapun dipaksakan dengan hitung-hitungan, nilainya akan
mencapai puluhan miliar atau bahkan triliunan.
Jadi,
apalah artinya semiliar rupiah atau sepetak rumah ukuran 200 m2 saja,
dibanding surga ibu. Anehnya, ada anak yang begitu bodoh ingin
menukar surganya dengan dunia yang semu. Padahal surga yang itu
luasnya melebihi langit dan bumi, lautan dan daratan, dengan segala
kenikmatan tak terperi yang tiada bandingannya.
PRODUK
SEKULER
Inilah
manusia-manusia produk sistem sekuler-liberal. Ideologi inilah yang
mengajari manusia untuk memberhalakan benda. Sistem ini hanya
melahirkan manusia-manusia individualis yang telah mati rasa. Bahkan
cenderung keji, sadis dan biadab.
Materialistis
adalah corak kehidupannya. Kebahagiaan diukur oleh penguasaannya
terhadap benda. Maka itu, manusia matre ini sangat hobi menumpuk
harta. Sikut sana-sini bukan masalah asal tujuan tercapai. Bahkan
terhadap ibu kandungnya sendiri, tak ambil pusing. Lahirlah
manusia-manusia serakah, tamak dan haus harta.
Di
samping itu, sistem sekuler-liberal juga telah memiskinkan manusia.
Sistem kehidupan dengan penerapan sistem ekonomi liberal saat ini,
membuat masyarakat sulit mengakses kepemilikan harta. Banyak
pengangguran. Harga rumah mahal. Biaya pendidikan dan kesehatan
melangit. Lalu mencuatlah angka kemiskinan. Kemiskinan memicu
kenekatan. Nekat mencuri, merampok atau merampas harta milik orang
lain.
Ditambah
lagi keyakinan terhadap rezeki dari Allah SWT, sudah dianggap basi.
Akibatnya harta secuil pun jadi rebutan. Bahkan, menjadi sumber
sengketa antaranggota keluarga tiada habisnya. Antara ibu dan anak
kandungnya. Na'udzubillahi minzalik.
JANGAN
DURHAKA
Sungguh,
sebodoh apapun seorang manusia, akal sehatnya tidak akan menemukan
nalar melihat kenyataan seorang anak tega menggugat ibu kandungnya.
Wanita, tempat dimana sang anak bergantung nyawa sembilan bulan di
dalam rahimnya.
Tidak
tahukah dia, bagaimana “sakit'-nya hamil, dan “derita” saat
melahirkannya? Lalu, dua tahun sang anak lagi-lagi menggantungkan
nyawa dari air susu ibunya. Air susu yang terus mengalir dalam
darahnya, sepanjang umurnya. Nutrisi terbaik yang membuatnya mampu
melewati masa-masa kritis di awal-awal kehidupannya.
Sungguh
Maha Adil Sang Pencipta, jika kemudian mentahbiskan surga ada di
telapak kaki ibu.
Diriwayatkan
dari Mu’wiyah bin Jahimah as-Salami bahwasanya Jahimah pernah
datang menemui Nabi lalu berkata: Wahai Rasulullah, aku ingin
pergi jihad, dan sungguh aku datang kepadamu untuk meminta
pendapatmu. Beliau berkata: “Apakah engkau masih mempunyai ibu?”
Ia menjawab: Ya, masih. Beliau bersabda: “Hendaklah engkau tetap
berbakti kepadanya, karena sesungguhnya surga itu di bawah kedua
kakinya.”
Nah, jika
kini sang anak begitu pongah mengusir ibu dari hatinya, sungguh ia
telah membuang surganya sendiri. Apakah ia amnesia ke mana ia kelak
kembali? Padahal Allah SWT berfirman: “Bersyukurlah kepada-Ku
dan kepada ibu bapakmu, hanya kepada-Ku-lah engkau akan kembali.”
(Luqman: 14).
Semua
paham, ada perintah Alah SWT untuk berbakti kepada orangtua. Allah
SWT berfirman: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu
jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada
kedua orang tuamu dengan sebaik-baiknya” (Al-Isra': 23).
Berbuat
baik kepada kedua orang tua artinya memberikan bakti dan kasih sayang
kepada keduanya.
“Jika
salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur
lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya perkataan: ‘Ah..’ (AI-Isra': 23)
Jadi,
janganlah berkata-kata kasar kepada keduanya jika mereka telah tua
dan lanjut usia. Sebaliknya, berlemah-lembutlah. Kasihilah dan jangan
malah dimusuhi.
WAJIB
BERBAKTI
Wajib
bagi anak mengabdi setulusnya kepada orangtua, sebagaimana keduanya
telah mencurahkan pengabdian sepenuh cinta pada sang anak di masa
kecilnya. Sungguh, pengabdian orangtua kepada anaknya, jauh lebih
tinggi dari pengabdian anak kepada orang tuanya. Bagaimana mungkin
kedua pengabdian itu bisa disamakan?
Ketika
kedua orangtua menahan derita agar sang anak hidup, kelak ketika
orangtua renta, anak justru tak tahan menahan derita dalam merawatnya
dan berharap orangtuanya segera meninggal. Na'udzubillahi
minzalik.
Sungguh,
jangan sampai hal itu terjadi pada diri kita. Marilah kita senantiasa
mendoakan orangtua sebagaimana firman Allah SWT: “Dan
rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan
dan ucapkanlah: ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya,
sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil’
(AI-Isra':24)
Terakhir,
saatnya berupaya sekuat tenaga dalam memperindah jalinan kasih dengan
kedua orangtua, khususnya ibu. Sebab, ridhonya adalah kunci pembuka
ridho Allah SWT.(kholda)
No comments:
Post a Comment