Mengelola Pendapatan dan Pengeluaran


Oleh Kholda Naajiyah

Adalah fakta bahwa saat ini semua harga kebutuhan pokok meroket. Uang semakin tidak berdaya. Bapak-bapak memutar otak, bagaimana meningkatkan pendapatan. Ibu-ibu pening, bagaimana cara menyiasati uang belanja agar cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan keluarga. Ya, dua anggaran yakni pendapatan dan pengeluaran inilah yang harus kembali diatur dengan teliti. Berikut di antara tips yang bisa dicoba:

Menambah Pos Pendapatan
Menghadapi situasi inflasi, mau tidak mau, harus ada upaya untuk menaikkan pendapatan. Terutama di pundak suami. Bagi yang menjadi karyawan, tentunya mengharapkan kenaikan gaji saja tidak seberapa. Di sinilah diperlukan peningkatan produktivitas dengan menyediakan waktu dan tenaga lebih untuk mencari pendapatan tambahan. Mungkin merintis bisnis, menawarkan jasa berkat keterampilan yang dia miliki, menulis, dsb.
Bagaimana dengan istri yang bekerja? Ya, belakangan ini banyak sekali keluarga pengemban dakwah dimana suami-istri sama-sama bekerja. Hal ini tak lepas dari sulitnya hidup di era sekuler, dimana suami sulit bekerja di sektor yang halal tapi berpenghasilan besar. Akibatnya istri ikut membantu suami. Seperti menjadi guru, karyawan, hingga berjualan berbagai produk.
Terlebih mereka yang memiliki hobi dan kemudian bisa dikembangkan jadi sumber pendapatan sampingan. Seperti pandai memasak atau membuat kue, menjahit, membuat kerajinan tangan, dsb. Tak mengapa asal tidak sampai melalaikan tugas utama para istri. Meski praktiknya sulit, tapi dengan kerjasama dan saling pengertian antara suami-istri akan ada jalan tengahnya. Siapa tahu pintu rezeki itu memang datangnya dari pihak istri. Tapi, istri sifatnya hanya membantu. Jangan pula suami terlena dan keenakan karena sudah dibantu istri lantas tidak lebih giat mencari nafkah. Atau malah sebaliknya, istri yang keenakan dan kebablasan saking giatnya bekerja.
Mengeram Pos Pengeluaran
Hati-hati, mengeluarkan uang jauh lebih mudah dibanding mendapatkannya. Tentu saja utamakan untuk kebutuhan pokok yang tidak bisa ditunda pemenuhannya. Catat ketika belanja. Belanjalah dengan uang cash. Jika butuh barang sedikit, hindari swalayan atau supermarket karena pasti melirik-lirik barang yang sebetulnya tidak dibutuhkan saat itu.
Bersabarlah terhadap keinginan-keinganan yang bisa ditunda. Termasuk rengekan anak akan jananan atau mainan. Juga rengekan hati untuk wisata kuliner, window shopping (lihat-lihat), jajan, dll. Biasakan membawa bekal dari rumah sehingga tidak tergoda jajan.

Mencatat Semua Transaksi
Hal pertama yang harus dilakukan adalah mencatat semua transaksi baik pemasukan maupun pengeluaran. Kadang, kesibukan mengurus rumah membuat kaum ibu tak sempat mencatat belanja hariannya. Padahal ini penting sebagai alat kendali ke mana saja uang sudah mengalir.
Nah, ada dua pos pengeluaran, yakni untuk belanja yang sifatnya duniawi dan akhirat. Biasanya belanja yang sifatnya untuk kepentingan akhirat, seperti infak, sedekah atau wakaf tidak ikut dicatat dengan alasan takut tidak ikhlas. “Sedekah kok diingat-ingat”. Padahal boleh saja, karena bisa menjadi bahan pembanding, betapa konsumsi kita untuk akhirat belum sebesar untuk kebutuhan dunia. Siapa tahu bulan berikutnya kita bisa lebih meningkatkannya.

Lebih Sederhana
Bisa jadi, dengan terpaksa kita harus sedikit menurunkan kualitas hidup. Belanja kebutuhan yang semula masuk grade A mampu, sekarang cukup grade B. Yang penting kebutuhan itu tetap bisa dipenuhi, walau lebih sederhana dibanding sebelumnya. Lebih bersahaja dan tidak memaksakan diri untuk menggapai yang tidak lagi terbeli. Apalagi jika produk itu tidak terlalu urgent, jangan mempertahankan gengsi hingga bertahan harus membeli merek tertentu yang mungkin harganya sudah tak lagi ramah di kantong.

Swasembada Kebutuhan
Banyak kebutuhan rumah yang bisa disuplai sendiri jika memungkinkan. Hal ini juga bisa menghemat pengeluaran. Misal, jika punya sedikit pekarangan rumah, tanamlah cabe, tomat, pepaya, jambu batu dan sejenisnya. Demikian pula, jika membetulkan sepatu yang rusak bisa dengan dilem sendiri, tak perlu ke tukang sol. Mempermak baju yang sobek, bisa dijahit sendiri. Menyervis alat elektronik, mainan anak, perbaikan kran rusak dan perabotan lainnya, jika bisa dilakukan sendiri tak perlu keluar biaya, bukan? Tapi, juga terlalu jangan pelit, karena prinsip hidup seorang muslim adalah tidak berlebihan tetapi juga tidak keterlaluan. "Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.”3 [TQS. Al Furqaan (25) ayat 67].(kholda)

Nyawa Ibu Dalam Ancaman

Para PRT di rumah Syamsul Anwar yang diselamatkan polisi.


Oleh Kholda Naajiyah

Sepasang suami istri Syamsul Anwar (51) dan Radika menciptakan kisah horor di rumahnya, Jl Madong Lubis/Jl Beo, Lingkungan XI, Sidodadi, Medan. Mereka menyekap, menyiksa dan bahkan membunuh para pekerja rumah tangga (PRT). Hingga tulisan ini dibuat dipastikan dua PRT tewas dibunuh, yakni Hermin Rusdiawati yang jasadnya dibuang di Barus Jahe, Kabupaten Karo dan Yanti di Labuhan Deli (www.kompas.com,12/12/14)
Sementara tiga PRT ditemukan selamat, yakni Endah (55) asal Madura, Anisa Rahayu (25) asal Malang dan Rukmaini (43) asal Demak. Ketiga perempuan ini mengaku kerap disiksa bahkan pernah diberi makan dedak (makanan hewan). Gaji mereka selama bertahun-tahun juga tidak dibayar.
Anisa mengaku majikan yang telah menganiaya dirinya dan dua rekannya selama beberapa tahun terakhir, bukan hanya kejam, tetapi juga bengis dan sadis. “Cici (maksudnya Hermin, red) dibunuh di depan saya. Dia dimasukkan didalam bak mandi dengan kepala dibawah dan kaki di atas. Aku bilang kenapa dibunuh kawanku dan mereka bilang membunuh itu tidak berdosa. Kalau aku macam-macam, maka aku juga akan direndam sampai mati,” ujarnya di Polresta Medan, Jumat (28/11/2014) sore.
Sedangkan Endah (55) mengaku lima tahun bekerja hanya sekali menerima gaji. “Sampai hari ini cuma bulan pertama aku digaji, selebihnya enggak pernah. Saya enggak bisa melawan, enggak bisa kabur juga karena enggak pernah dikasih keluar,” ucapnya lirih.
Sungguh, tragedi seperti ini bukan baru sekali. Berulang kali, baik di dalam maupun luar negeri.
Dilihat dari usianya, sebagian korban itu adalah wanita setengah baya yang berarti kaum ibu. Bagaimana bisa mereka bekerja jauh dari rumahnya? Tentu ada yang tidak beres di rumah: kurangnya nafkah.
Sayang, di tengah perjuangannya mencari sesuap nasi, nyawa pun jadi taruhan. Demikianlah salah satu derita yang dialami kaum ibu yang hari ini, hidup di negeri ini, di bawah penerapan sistem sekuler kapitalisme.

PERAN PAHIT
Berita pilu dari Medan itu menjadi kado pahit Peringatan Hari Ibu (PHI) 22 Desember ini. Moment yang pada dasarnya dapat mengingatkan masyarakat untuk tetap memberikan perhatian, pengakuan akan pentingnya eksistensi peran dan kiprah perempuan dalam berbagai sektor kehidupan.
Tapi, itu hanya di atas kertas. Sangat paradoks dengan tujuan PHI selanjutnya, yakni mendorong meningkatkan kesetaraan peran perempuan dan laki-laki dalam mengisi kemerdekaan serta pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan demi mewujudkan tujuan kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Persis seperti tema PHI ke 86 tahun ini, yakni “Kesetaraan Perempuan dan Laki-Laki dalam Mewujudkan Pembangunan yang Berkelanjutan dan Berkeadilan Menuju Indonesia Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian.” Tema tersebut hendak menanamkan pemahaman bahwa perempuan dan laki-laki mempunyai kesempatan dan tanggung jawab yang sama dalam berpartisipasi untuk mewujudkan demokrasi dan pembangunan Indonesia seutuhnya.
Yang dimaksud partisipasi itu antara lain: berkiprah di ranah publik dengan bekerja, berkarya atau beraktivitas sosial di masyarakat. Contoh nyata berbondong-bondongnya para ibu menjadi PRT atau TKI ke luar negeri. Peran pahit yang harus dipikul kaum ibu ini bukan memberi penghargaan pada kaum ibu, sebaliknya menjerumuskan. Bagaimana tidak, ibu-ibu kemudian dituntut menjadi tulang punggung keluarga untuk mencari nafkah.

DERITA BERSAMA
Hingga kini, Hari Ibu belum mampu mengembalikan ibu-ibu ke dalam rumahnya. Bahkan peran domestik ibu masih juga dipandang sebelah mata. Tidak dinilai sebagai kontribusi dalam pembangunan. Padahal justru inilah peran strategis dan politis yang sudah fitrahnya digenggam kaum ibu.
Ibu adalah ummu warobbatu bayt. Pengatur rumah tangga, pendidik pertama dan utama anak-anaknya. Ibulah peletak dasar suksesnya proses regenerasi sebuah bangsa dan peradaban. Ibu mengemban amanah luar biasa besar untuk mencetak calon pemimpin bangsa di masa depan. Sungguh tidak adil jika partisipasi kaum ibu hanya dinilai dari aktivitasnya di publik.
Faktanya, ketika perempuan mengambil peran di ruang publik, ternyata sistem tidak memberikan jaminan keamanan dan kenyamanan. Bahkan aqidah, akhlak dan nyawa pun jadi taruhan. Seperti kasus PRT di atas.
Karena itu, peran publik dalam payung sistem sekuler hanya menambah derita ibu. Peran pahit itu terpaksa dilakoni para perempuan yang modal dasarnya juga sudah sangat minim: miskin, berpendidikan rendah dan lemah akidah. Karakter perempuan seperti ini akhirnya semakin tertindas oleh sistem kapitalisme.
Untuk itu, saatnya mengingatkan kembali pada kaum perempuan akan bahaya sistem sekulerisme bagi mereka.Perempuan selamanya akan terus menderita dalam penjajahan neoliberalisme. Bahkan bukan hanya menimpa para perempuan lugu seperti kaum PRT tadi, hampir-hampir semua wanita merasakan penderitaan itu.
Termasuk sebagian besar para perempuan sukses yang terkesan hebat, kaya, cantik dan modern, tapi hatinya kosong dari kebahagiaan hakiki. Juga para publik figur yang sudah bergelimang harta dan popularitas. Jangan dikira mereka tak butuh pertolongan untuk diselamatkan dari kubangan derita akibat sistem neoliberalisme. Terbukti, belakangan ini muncul fenomena tobatnya para artis kembali ke pangkuan Islam.
Itulah yang diperjuangkan Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia dengan menyelenggarakan Kongres Ibu Nusantara (KIN) dengan tema, “Derita Ibu dan Anak karena Matinya Fungsi Negara dalam Rezim Neolib”. Kongres diadakan selama 14-21 Desember 2014 di 50 kota besar di Indonesia dan dihadiri 30 kaum ibu dan tokoh perempuan. Sebuah upaya untuk mengembalikan kesadaran kaum ibu dan mendudukkan kembali kemuliaan harkat dan martabat mereka. Kemuliaan yang hanya bisa direbut kembali jika sistem Islam diterapkan, mengganti sistem neoliberalisme.

MENDAMBA KHILAFAH
Derita ibu-ibu belum terentaskan. Padahal sudah puluhan tahun negeri ini merdeka dan sudah puluhan kali pula setiap 22 Desember diperingati Hari Ibu. Inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa kaum perempuan begitu merindukan sistem Islam. Sistem yang diterapkan secara kaffah oleh Daulah Islamiyah dipimpin Khalifah yang membawa perubahan pada nasib kaum perempuan.(*)

Korban "Cherrybelle" Tumbang, Ulama Jadi Kambing Hitam

Oleh Asri Supatmiati

Gara-gara pesta “Cherrybelle”, 16 warga Garut menjemput maut. Beruntung 4 lainnya masih bisa diselamatkan nyawanya. “Cherrybelle” di sini bukan girl band super centil itu ya, tapi sebutan untuk minuman keras (miras) oplosan. Miras itu sendiri ada yang dicampur dengan penambah energi, alhokol, lotion antinyamuk dan spirtus. Bahkan dokter curiga, ada kandungan lain yang lebih berbahaya (www.liputan6.com, 6/12/14).
Kejadian tak kalah luar biasa di Sumedang, korban miras oplosan mencapai 127 orang. Sebanyak 8 di antaranya tewas. Ditambah korban dari Depok dan Jakarta Timur, sedikitnya 33 tewas di empat kota tersebut karena mengkonsumsi minuman keras oplosan (www.rtv.co.id, 4/12/14). Hadeuh! Nyawa melayang sia-sia di tangan barang haram.

STANDAR GANDA
Ketika korban miras berjatuhan, semua tersentak. Menyesalkan kejadian tersebut dan mereka-reka bagaimana solusinya. Padahal kenapa kaget? Bukankah negeri ini sekuler-kapitalisme yang tidak menjadikan agama sebagai pedoman? Bukankah di negeri ini miras memang sah beredar? 
Coba tengok Perpres Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol. Melalui peraturan itu, pemerintah mengategorikan minuman beralkohol sebagai barang dalam pengawasan. Cuma diawasi peredarannya, bukan dilarang sama sekali.
Ada miras golongan A yang mengandung etil alkohol (C2H5OH) dengan kadar sampai 5%.
Golongan B mengandung etanol 5-20% dan golongan C kadarnya 20-55% . Nah, Pasal 7 Perpres ini menegaskan, miras golongan A, B, dan C hanya dapat dijual di hotel, bar dan restoran yang memenuhi persyaratan. Selain itu, di toko bebas bea.
Hmm, soal miras ini, pemerintah memang menerapkan standar ganda. Di hotel-hotel berbintang, diskotek, kafe dan mal-mal besar boleh, tapi miras di level wong cilik dilarang. Agen miras digerebek. Warung penjual miras dibekuk. Pemadat dari kolong jembatan ditangkap.
Memang, mungkin ada yang ngeles, miras yang beredar kan diawasi kadarnya. Jadi aman dikonsumsi.  Sedangkan yang oplosan, itu sama sekali tidak ada jaminan aman untuk dikonsumsi. Makanya, orang tewas gara-gara pesta miras hanya terjadi pada rakyat kecil yang nenggak miras oplosan.
Yah, sama saja Sobat! Keberadaan miras oplosan merajalela, dikarenakan rakyat kecil tidak sanggup membeli miras premium yang harganya selangit. Iyalah, belinya saja harus ke minimarket, mal, bar atau hotel. Mana sanggup. Jadi, tak ada miras original, oplosanpun jadi.
Lagipula, siapa bilang pengaruh buruk miras hanya bersumber dari yang oplosan? Pemabuk dari kalangan berduit, yakni pecinta dugem di bar, diskotek atau hotel-hotel, juga tak sedikit yang menimbulkan petaka. Masih ingat dengan tragedi Tugu Tani dengan pelaku Afriani? Habis pesta miras dan narkoba di diskotek, perempuan itu menabrak pejalan kaki hingga menewaskan 9 orang dan melukai 4 orang lainnya. Kasus sejenis kemudian susul-menyusul tiada habis. Jadi, kurang bukti apalagi atas kemudharatan miras?
Dus, sumber masalahnya adalah: kenapa miras dilegalkan.  Padahal, udah tahu miras membawa bahaya, bikin mabuk, hilang akal dan bahkan hilang nyawa. Yang bodoh siapa? Seandainya miras dilarang, tidak legal, tentu tidak akan ada ceritanya orang mati gara-gara miras.

UMARA vs ULAMA
Lebih aneh, ada segelintir pihak yang menyalahkan kalangan ulama. Ironisnya, kritik itu justru datang dari Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat, Rafani Achyar, di Bandung (www.okezone, 6/12/14)
"Kejadian di Garut misalnya, ini kan kota santri, kota religius, kiai dan ulama banyak di situ. Jadi bagaimana ini, pada kemana mereka," kata Rafani Achyar, di Bandung (6/12/14). Menurutnya, peran kiai dan ulama jelas sentral bagi berlangsungnya kehidupan masyarakat yang tenteram.
Tapi itu pun jika kiai dan ulama mampu menjalankan peran dengan baik di masyarakat. "Kemungkaran itu bisa diminimalisir atau dihilangkan kalau ulama hadir di situ (di masyarakat). Tapi hadirnya ulama bukan untuk sekadar diam," tuturnya.
Memang, ia juga menggarisbawahi, pemerintah pun harus memberi dukungan. Sebab apa yang terjadi saat ini tak lepas dari pemerintah yang tidak menjadikan agama sebagai tuntunan utama. "Saya melihat ini akibat pemerintah tidak menjadikan agama sebagai kaidah penuntun dalam menjalankan roda pemerintahan. Kalau agama tidak dijadikan kaidah penuntun, kemungkaran apapun bisa bebas. Dari perspektif sufistik, negara kalau begini terus tinggal menunggu kehancuran," tandas Rafani (idem).
Padahal, jelas pemegang juara salah nomor satu adalah pemerintah, pemimpin alias umaro. Sekali lagi: kenapa melegalkan miras? Seandainya tidak dilegalkan, kemudian ada hukuman keras bagi siapa saja yang berhubungan dengan barang haram itu, baik sebagai pelaku bisnis atau peminum, niscaya masyarakat akan pikir-pikir dulu sebelum membeli miras.
Jadi, umara alias pemimpin itulah yang bertanggungjawab penuh. Umara hendaklah menjadikan Islam sebagai pedoman dalam menerapkan seluruh kebijakan. Islam menjelaskan, barang terkategori khamr itu haram. Berapapun kadarnya, tetap tidak boleh diproduksi dan dijual-belikan. Jelas, kan?
Sementara ulama, tugasnya “hanyalah” amar makruf nahi munkar. Namanya berdakwah, tidak memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan. Mengajak kebaikan, kalau orangnya mau bagus. Mencegah kemungkaran, yang punya tangan ya umaro. Ulama sebagai penjaga akidah umat sebatas menyampaikan keberanaran. Jadi, jangan ketika korban miras bergelimpangan, jangan salahkan masyarakat. Apalagi mengkambinghitamkan ulama. Salah tunjuk jari tuh!(*)


Cerdas Mengelola Informasi

Oleh Kholda Naajiyah



Di era teknologi informasi saat ini, hampir sulit membedakan antara berita yang benar, isu, rumor, gosip, hoax, aib atau bahkan fitnah. Semuanya berserakan di berbagai media, baik media cetak, elektronik maupun media sosial.

Masyarakat kebanyakan menelan mentah-mentah, tak peduli benar-salah, tak mau repot meneliti serta  cek dan ricek. Bahkan terkadang langsung emosinal, panik dan percaya begitu saja. Akibatnya tak sedikit yang terjebak pada penyebaran berita bohong. Padahal, tentu berdosa menyebarkan berita bohong.

Lebih dari itu, sebagai sosok yang dianggap paham Islam alias pengemban dakwah, adalah bahaya jika kita menjadi penyampai pesan kebohongan. Kredibilitas bisa jatuh, kepercayaan masyarakat luntur dan bahkan tercemarlah nama baik kita. Apalagi jika Anda tokoh, figur publik atau punya jamaah, sungguh disayangkan jika mereka 'kabur' karena kekhilafan ini.

Karena itu, sungguh penting untuk menjadi penyampai berita kebenaran saja. Jangan sampai kita menjadi penyampai berita sampah yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Untuk itu, perlu memahami karakteristik berita bohong  dan bagaimana menyikapinya:

1 Cek sumber beritanya
Adakah kutipan sumbernya: nama, jabatan, nomor telepon, situs blog/website, akun media sosial, media massa yang menayangkannya, tanggal tayangnya, dst. Setiap berita resmi selalu ada nara sumber, bisa pribadi atau badan (instusi/lembaga tertentu).

2 Teliti kontennya
Apakah isi berita itu lengkap, masuk akal, logis, tidak berlebihan, tidak terlalu dramatis/aneh/konyol atau malah sebaliknya. Apakah sudah mencakup who, why, when, where dan how. Berita resmi akan selalu menjelaskan apa yang terjadi atau berlaku, kemudian penyebabnya dan solusi atau saran atau mungkin hal yang bisa dilakukan.

3 Bagaimana kaidah bahasanya
Apakah menggunakan bahasa baku, tidak kasar, tidak mendiskreditkan seseorang, mengandung SARA, mengadu domba, menghasut, dan seterusnya. Berita yang baik dan benar akan menggunakan kaidah bahasa yang baik pula. Berita resmi tidak mungkin menggunakan singkatan atau istilah gaul. Beda dengan gosip, aib atau fitnah yang cenderung menggunakan bahasa bombastis dan berlebihan.

4 Jangan terpancing ungkapan islami
Banyak informasi yang diakhiri dengan kutipan “Allahu Akbar”, “Subhanallah”, “Masya Allah” dan sejenisnya. Jangan jadikan itu sebagai ukuran pembenaran bahwa informasi tersebut pasti valid.

5. Relevansi kepentingan
Semua berita yang benar akan ditujukan untuk kepentingan orang yang dikirim berita, bukan pihak lain. Cermati relevansi antara berita yang Anda terima dengan kondisi Anda. Makanya, jangan sembarang menerima pertemanan atau kiriman dari pihak yang tidak Anda kenal.

6. Kata penutup
Jika kita jeli membaca pesan berantai, ada satu pola yang mirip. Misal ada kalimat "mohon sebarkan", "share jika Anda menyayangi keluarga Anda", "bagikan jika tidak ingin sistem Anda bermasalah”, “bagikan ke 10 orang maka Anda akan mendapat keuntungan” dan sejenisnya. Pesan seperti ini bisa dipastikan hoax.(kholda)

Ibu-ibu harus cerdas memanfaatkan smartphone. Foto by Asri @Harris Hotel Malang

Bila Kaum Ibu Melek Informasi


Oleh Kholda Naajiyah

Anak perempuan umur 6 tahun gila dan dirawat di rumah sakit jiwa gara-gara obsesi ibunya yang memaksa anak dengan seabrek les. Sampai-sampai si anak setiap ditanya yang keluar angka-angka matematika. Berita yang disinyalir hoax (berita bohong) itu jadi trending topic dan jadi perbincangan ibu-ibu, karena tersebar luas melalui media sosial, broadcast dan grup-grup diskusi di smartphone.
Ada saja orangtua yang percaya mentah-mentah kabar miris tersebut dan segera membahasnya panjang lebar tanpa peduli kebenarannya. Bahkan, dengan bangga –karena merasa pertama yang menyebarkannya-- dan penuh percaya diri segera meneruskan kabar tersebut ke teman-temannya disertai komentar 'prihatin'.
Ada juga yang sebenarnya tidak percaya, tapi tetap 'gatal' juga untuk tidak membahasnya, dengan dalih 'kita ambil ibrohnya' kalaupun kabar itu tak benar. Ujungnya sama, menyebarkan ke teman kontaknya disertai komentar 'benar gak ya ini'. Lalu, semakin meluaslah diskusi tentang topik hangat tersebut.
Tulisan ini tidak bermaksud ikut-ikutan membahas benar-tidaknya kabar anak malang itu, melainkan mengajak pembaca untuk cerdas dan bijak dalam menyikapi sebuah informasi. Terutama ibu-ibu yang mudah panik, trenyuh dan percaya apapun informasi yang masuk inbox-nya.

IBU DIGITAL
Ibu-ibu masa kini banyak yang memegang gadget sebagai sebuah kebutuhan. Manfaatnya untuk memperlancar urusan memang sangat besar. Baik untuk urusan mengelola rumah tangga, meningkatkan potensi diri, menambah wawasan, memperluas pergaulan, mendongkrak pendapatan hingga kepentingan dakwah.
Tidak ada yang salah dengan fenomena ini. Sebab, kemajuan zaman tidak bisa kita bendung. Ibu-ibu memang harus melek teknologi di era digital ini. Apalagi anak-anak pun sudah demikian canggih (Tapi, ini juga bukan dimaksudkan untuk menginspirasi ibu-ibu yang belum memiliki smartphone untuk rame-rame memintanya pada suami, ya!).
Yang penting bagaimana kaum ibu cerdas dan bijak dalam memanfaatkan smartphone-nya. Misal dari sisi waktu. Jangan sampai keberadaan gadget merampas quality time ibu bersama sang buah hati. Ibu dan anak ada dalam satu ruang, tapi sama-sama sibuk dengan gadget-nya masing-masing. Tak ada percakapan, tak ada canda tawa. Ironisnya, masih satu lokasi malah ngobrolnya lewat gadget. Duh! Jangan sampai kita jadi 'ibu digital' yang hanya hadir di gadget anak-anak.
Lebih celaka lagi, jika kesibukan ibu dengan gadgetnya justru hanya untuk menyebarkan informasi yang tergolong hoax tadi. Sibuk copy paste sana sini, membahas dan mendiskusikan berbagai topik di berbagai grup yang diikuti, komentar di berbagai status media sosial yang sama sekali tidak penting, dan sejenisnya.
Benar, menebarkan inspirasi melalui saran, usul, kritik, tausiyah dan tulisan apapun, sangat bermanfaat. Itu tanda kita menjadi orang yang berguna bagi sesama. Silakan melakukannya. Bahkan kalau bisa sesering dan sebanyak mungkin. Tapi, idealnya itu karya pribadi yang kita produksi setelah urusan tetek-bengek kewajiban rumah tertunaikan.
Sayangnya, di era Prof Google inipun, kita cenderung dicetak untuk menjadi manusia instan. Tak mau bersusah payah menciptakan karya, cukup mencomot sana sini dengan begitu mudahnya. Padahal jika karya kita sendiri yang membuatnya, bukankah itu akan menambah investasi pahala?
Baiklah, bila pun kita belum mampu membuat sendiri dan baru bisa menyebarkan karya orang lain, biasakan pula saat copy paste itu menyertakan sumber asal muasal informasi tersebut. Misalnya ketika menyebarkan tausiyah, sebut ustad siapa yang pertama menulis tentang tausiyah itu, akun media sosial atau alamat website di mana, kapan tanggal pertama pemuatannya. Cantumkan dengan jelas.
Kebiasaan kita, kerap copy paste tanpa merunut dan menyebut sumber pertamanya. Inilah yang kerap ikut andil menyuburkan hoax, yang tanpa kita sadari akan menjadi investasi dosa. Na'uzubillahi min zalik.
Lagipula, dalam hukum positif yang berlaku saat ini, ancaman bagi yang menyebar berita bohong –sekalipun iseng-- adalah pidana penjara maksimal 6 tahun dan denda Rp1 miliar, sesuai pasal 28 ayat 1 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Bukankah sudah banyak –perempuan dan ibu-- yang terserat kasus hukum gara-gara kekhilafannya di media sosial? Seperti Prita Mulyasari yang mengeluhkan layanan rumah sakit, Florence yang mengeluarkan umpatan tentang Yogyakarta atau Ervani Emihandayani yang mengomentari dipecatnya sang suami di Facebook dan berujung penjara. Jangan sampai hal buruk itu menimpa kita.

PRODUK RESMI
Sebuah informasi yang disebut produk jurnalistik, tidak begitu saja ditayangkan. Harus memenuhi kaidah-kaidah jurnalistik yang ketat. Ibarat makanan, bahan-bahan mentah pemberitaan berupa fakta di lapangan, konfirmasi nara sumber dan komentar pihak berkompeten harus diolah dulu. Diuji kebenarannya, dicek dan ricek. Dianalisa pula dampak positif-negatifnya jika kelak ditayangkan. Dirapatkan dulu, mulai tingkat reporter, redaktur, editor hingga pemimpin redaksi. Jadi, tidak serta merta dipublikasikan begitu saja.
Karena itu sebaiknya jadikan media massa yang kredibel sebagai sumber rujukan. Sebab berita yang sudah ditayangkan resmi di media massa, lazimnya sudah terkonfirmasi pada sumber-sumber yang bisa dipercaya.
Boleh mencari informasi dari media di luar media massa mainstream, namun harus tetap dari sumber yang bisa dipercaya. Harus diakui, saat ini informasi bukan hanya mengandalkan pemberitaan resmi media massa, seperti koran atau televisi. Pasalnya, memang tidak semua informasi mampu diakomodir oleh media massa mainstream. Masih banyak fakta di lapangan yang tidak “tercium” media. Apalagi media yang ada juga sudah banyak yang tidak independen alias dikangkangi berbagai kepentingan.
Maka, berkembang citizen jurnalisme, dimana masyarakat awam pun bisa menciptakan apa itu berita. Termasuk, bermunculan berita-berita yang termasuk palsu tadi. Berita palsu ini biasanya juga beredar di media massa tak resmi, seperti blog, website atau akun media sosial. Lalu yang kini mudah, yakni melalui SMS, broadcast BlackBerry Masanger (BBM) dan berbagai aplikasi chatting.
Ingat, di era digital ini selalu saja ada manusia-manusia tak berperasaan, baik iseng maupun sengaja, yang menciptakan berita bohong atau bahkan fitnah untuk kepuasaan sesaat atau bahkan keuntungan materi. Bisa saja berniat membuat keresehan, mendongkrak jumlah follower atau liker, meningkatkan popularitas, memeras pihak tertentu dan sebagainya.

KEWAJIBAN TABAYUN
Islam mengajarkan untuk tabayyun dalam menyikapi informasi apapun. Jangan hanya percaya dengan “katanya si fulanah, aku sih tahu dari temen, katanya sih bener.” Jadi, telitilah dalam menerima berita. Sikapi berita dengan tenang, jangan emosional dan main perasaan. Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS Al-Hujurat : 6)
Semoga kita diberi kekuatan untuk menjadi orang yang makin bijak mengelola informasi di sekitar kita. Terutama informasi yang berkaitan dengan tugas-tugas sebagai perempuan, istri dan ibu rumah tangga, pendidik putra-putri, pengemban dakwah sekaligus pendidik umat.
Tugas tersebut membutuhkan banyak ilmu, wawasan dan strategi yang kerap kita peroleh dari berbagai informasi yang berseliweran di sekitar kita. Jadi, jangan tutup keran informasi itu hanya karena kita takut dengan efek negatifnya. Terimalah, cermati, teliti dan baru tentukan sikap. Diamkan jika merasa informasi itu tak membawa efek positif, sebarkan jika yakin itu terpercaya danbisa mendatangkan pahala.(*)

* Tulisan ini tayang di Tabloid Media Umat Edisi 140

Dua perempuan sibuk dengan gadget masing-masing. Foto: Asri. Lokasi: Harris Hotel Malang