Hidup Tak Seindah Media Sosial

* Catatan Harian Bunda

Asri Supatmiati

Sobat, kamu aktif di media sosial? Pastinya pernah dong membanding-bandingkan hidupmu dengan teman-temanmu. Kayaknya temanku kok lebih sukses ya, lebih pintar, lebih kaya, lebih bahagia dan lebih segalanya.
Kesimpulan itu kita dapat setelah mengintip profil, membaca status atau komentar-komentar mereka di media sosial.Ya, ketika kita terhubung dengan teman-teman kita yang sekian lama tidak berjumpa, kini kita jadi tahu seperti apa mereka.
Saya akui, saya pun pernah merasa “iri” dengan teman-teman saya. Saat awal-awal aktif di media sosial, saya pun terkagum-kagum dengan perubahan beberapa teman. Ada yang dulu tidak berkerudung, kini sudah menutup auratnya. Ada yang dulu begajulan/pecicilan/pencilakan (hehe...Bahasa Jawa ini, artinya semacam usil, nakal atau tengil gitu deh), sekarang telah menjelma menjadi orangtua yang bijak.
Ada juga teman-teman saya yang sudah mencapai gelar profesor, doktor, haji/hajah, dll. Ada yang sudah keliling ke berbagai negara. Ada yang anaknya sangat berprestasi, cakep, cantik, dll. Wow, hidup mereka begitu sempurna.
Apalagi kalau kita membandingkan dengan profil publik figur. Makin mengkeret deh. Mereka memiliki segala-galanya. Kerjanya jalan-jalan melulu, shopping, wisata kuliner, banyak prestasi, punya keluarga bahagia, hidupnya pun sempurna.
Kayaknya kok kita jadi merasa orang yang paling kurang beruntung sedunia. Jangankan traveling atau shopping, duit juga punya pas-pasan. Jangankan wisata kuliner, makan sehari-hari juga gitu-gitu aja. Nah, itulah yang memunculkan penyakit hati, yakni iri, sedih, minder, nggak pede, putus asa dan bahkan tidak bersyukur.
Padahal, kita tidak pernah tahu profil teman kita yang sebenarnya di dunia nyata itu seperti apa. Media sosial itu kan dunia maya, segalanya melalui setingan. Tidak semuanya sama dengan kehidupan mereka di dunia nyata. Jadi, jangan buru-buru kita menilai mereka lebih bahagia dari kita.
Bukankah ketika mereka melihat profil kita, merekapun mungkin berpikir sama, iri dengan kehidupan kita yang di mata mereka sempurna? Mungkin, justru mereka “iri” dengan kita. Padahal kita yang merasakan sendiri, bahwa hidup kita tak seindah di media sosial.
Kembali soal setingan, begini penjelasannya. Umumnya, media sosial itu adalah alat untuk menampilkan citra diri kepada publik yang tidak mampu dijangkau di kehidupan nyata. Melalui media itulah, kita ingin mengabarkan kepada dunia tentang eksistensi diri kita. Tentu saja, citra yang ditampilkan yang baik-baik saja. Yang buruk-buruk biarlah kita sembunyikan rapat-rapat. Kita nggak mungkin mengabarkan kejelekan kita sendiri kan?
Yah, kecuali beberapa gelintir orang yang memanfaatkan media sosial hanya untuk curhat, mencurahkan kegalauan, keputus-asaan, bahkan misuh-misuh (Bahasa Jawa lagi nih, mengumpat). Menurut saya, orang seperti itu sungguh merugi. Itu orang yang nggak ngerti fungsi utama media sosial.
Kalau menurut saya, media sosial itu adalah media untuk mem-branding diri. Yang sadar betul kegunaan ini, misalnya artis-artis ya. Mereka sadar betul diri mereka sebagai sebuah brand. Makanya biar eksis terus, wajib hukumnya bagi mereka untuk upload kegiatan sehari-hari mereka melalui media sosial, apakah dalam bentuk foto-foto atau status.
Nah, pastinya, status atau foto yang ditampilkan adalah yang baik-baik saja. Ini yang saya bilang setingan tadi. Contohnya kalau kita punya akun instagram, pengin upload foto, pasti akan memilih pose terbaik. Nggak mungkin foto yang jelek yang kita share. Iya, kan?
Demikian pula ketika membagikan pengalaman sehari-hari. Coba pas kita makan di kaki lima yang menunya biasa aja, misal mi ayam di dekat rumah, nggak akan sibuk selfie. Tapi sekalinya kita makan di restoran atau hotel bintang lima, pasti nggak ketinggalan upload foto-fotonya. Itulah mengapa yang tampak di media sosial itu adalah yang indah-indah saja. Yang happy-happy saja. Yang mewah-mewah saja. Yang enjoy-enjoy saja. Dan memang itulah karakter dasar manusia, ada gharizah baqo, ada ego yang ingin diakui eksistensinya, yang selalu ingin terlihat sempurna. Dan itu sah-sah saja.
Maka dengan begitu, berhentilah membanding-bandingkan hidup kita dengan orang lain. Sebab, apa yang sudah diraih orang lain dan belum kita miliki, belum tentu itu memang sesuatu yang kita butuhkan. Belum tentu apa yang dimiliki atau dicapai orang lain itu, adalah hal yang baik dan berguna bagi kita. Karena kita berbeda dengan mereka.
Kuncinya adalah selalu bersyukur. Allah SWT pasti sudah memilihkan jalan hidup kita yang terbaik. Syukuri. Kalaupun masih serba kekurangan, itu sebagai bahan introspeksi barangkali kita memang masih kurang ikhtiarnya. Dari sana kita justru berfikir, bagaimana supaya bisa menghadapi ujian berupa kekurangan-kekurangan tadi.
Jangan pula kekurangan ini kita ekspos di media sosial, seolah-olah tidak ada rasa syukurnya. Justru kekurangan ini kita jadikan pemicu untuk berusaha mendapatkan yang lebih baik lagi. Sementara bagi yang sudah berkecukupan, alhamdulillah dan jangan sombong. Tetap tawadhu.
Juga, harus tetap bersyukur. Yakinlah, setiap orang itu punya jalan hidup masing-masing yang sudah dirancang Allah SWT. Tinggal manusia berikhtiar sekuat tenaga untuk meniti jalan terbaik yang dia inginkan, yang dia cita-citakan.  Tentunya, dengan jalan yang halal dan diridhoi Allah SWT.
Hidup kita adalah kita, bukan mereka. Kita tidak bisa meniru atau meniti jalan hidup orang lain. Yang ada hanya menjadikan mereka sebagai inspirasi. Kita sendirilah yang harus mewujudkan mimpi-mimpi kita. Ingatlah Allah SWT berfirman (Ar-ra'du:11).إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ .... artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka. ”(*)

Bogor, 20 Agustus 2014

Ibu-ibu bersosialisasi di Kebun Raya Bogor. Foto by Asri Supatmiati.