Menghapus Lokalisasi vs Memahlawankan Pezina

Oleh Asri Supatmiati, S.Si
Penulis buku “Indonesia Dalam Dekapan Syahwat”

Para pelacur tampaknya akan semakin enjoy berzina, setelah Bupati Kendal, Jawa Tengah, Widya Kandi Susanti, menyematkan gelar “pahlawan keluarga” pada mereka. Ya, dengan alasan mereka umumnya bekerja untuk menghidupi keluarga, maka tidak manusiawi jika tempat pelacuran ditutup.

“Selain tidak manusiawi, dengan ditutupnya lokalisasi akan menimbulkan persoalan baru, yaitu menambah kemiskinan dan merebaknya penyakit kelamin. Pasalnya, kemungkinan para PSK itu akan mangkal di jalan-jalan bila lokalisasi ditutup,” kata Widya (Kompas.com, 23/01/14).

Tak hanya itu, Widya juga berencana mengganti slogan "Kendal Beribadat" menjadi "Kendal Hebat". Menurutnya, “beribadat” mempunyai arti yang positif, sementara di Kendal masih ada beberapa tempat pelacuran besar dan juga banyak pengguna narkoba. “Kalau nanti slogannya diganti dengan 'Kendal Hebat', bisa memotivasi orang Kendal untuk bisa menjadi orang hebat. Sebab, orang hebat bisa memilih mana yang baik dan mana yang tidak,” cetusnya (idem).

KESUKSESAN SIPILIS
Ibu Bupati yang terhormat adalah seorang perempuan, muslimah berkerudung yang penulis yakin, sangat salehah, taat pada suami, selalu menjalankan ibadah sehari-hari tanpa absen. Sayangnya, penampilan islami itu tidak diikuti dengan pola pikir yang islami pula.

Tapi, sejatinya, kita tidak perlu terkaget-kaget dengan pernyataan nyeleneh tersebut. Sebab, profil muslimah seperti itu bukan hanya ada pada diri sang Bupati Kendal. Sangat banyak putri-putri muslimah Tanah Air yang berkepribadian ganda: penampilan Islami, pola pikir sekuler.

Anda pasti tidak lupa dengan pandangan-pandangan kontroversial “cendekiawan” muslimah Musdah Mulia bukan? Juga pola pikir liberal ala anak-anak dan pengagum berat Abdurrahman Wahid (Gus Dur), seperti Yeni Wahid.

Mereka –tokoh perempuan tersebut--, penulis yakin, tak pernah lupa menegakkan sholat lima waktu, puasa Ramadhan, mengeluarkan zakat, tilawah Alquran setiap hari, bahkan tahajud, puasa Senin-Kamis  dan amalan-amalan kebajikan lainnya.

Tapi, mulutnya –atau tulisannya-- meluncurkan gagasan-gagasan yang bertentangan dengan syariat Islam, bahkan terkadang menusuk Islam itu sendiri. Seperti melegalkan hubungan homoseksual, menentang keras poligami, mendukung perempuan telanjang atas nama kebebasan ekspresi atau seni, menghujat jilbab sebagai budaya Arab dan tidak mewajibkannya, membela penganut agama lain atas dasar toleransi, mendukung aliran sesat dan menolak keras formalisasi syariat Islam dalam kancah kehidupan.

Di kalangan muslimah awam pun, tidak aneh saat ini bila ber-KTP Islam, tapi kelakuannya sangat tidak islami. Pacaran, berzina, berbohong, pengghibah, buka aurat, dll.  Semua itu menunjukkan betapa lemahnya aqidah umat ini. Sebaliknya, betapa suksesnya penjajahan ideologi sekuler-liberal di benak kaum muslimah. Mereka terbuai gagasan-gagasan indah feminisme, sekulerisme, liberalisme dan pluralisme.

Sungguh disayangkan, booming busana muslimah yang membungkus tubuh perempuan, tidak diikuti dengan booming-nya pemahaman Islam sebagai way of life yang kafah. Pola pikir dan perilaku muslimah justru semakin jauh dari nilai-nilai Islam.

Ini adalah pekerjaan rumah para muslimah, agar tak melupakan kajian Islam dibanding mempercantik penampilan. Kalau untuk ke salon atau berburu busana muslimah di mal betah berjam-jam, bagaimana dengan mengikuti kajian-kajian Islam kafah? Saatnya bercermin, tak hanya untuk memperbagus penampilan, tapi juga mengubah pola pikir dengan memperkokoh tsaqofah Islam.

BISNIS MENGGIURKAN

Kembali menyoal pelacuran, alasan klasik bahwa penutupan lokalisasi sulit dilakukan karena justru akan liar, menunjukkan memang tidak ada itikad sungguh-sungguh untuk menutup pelacuran selama-lamanya. Hampir semua pemimpin (daerah) di negeri ini, didukung para penggiat sipilis (sekulerisme-liberalisme-pluralisme), menjual alasan ini.

Mengapa? Karena dalam iklim liberal saat ini, pelacuran adalah bisnis menggiurkan. Transaksi prostitusi sungguh luar biasa. Berdasarkan perhitungan Biro Riset Infobank, nilai transaksi prostitusi per bulan sekitar Rp5,5 triliun. Angka itu berdasarkan asumsi jumlah pekerja seks komersioal (PSK) yang dikeluarkan beberapa lembaga seperti United Nations Development Programme (UNDP), Dinas Sosial, dan Komisi Penanggunalan AIDS (KPA), bahwa jumlah PSK di Indonesia sekitar 193.000-272.000. Angka ini tak berlebihan. Di luar Jawa seperti Bangka Belitung (Babel) saja, misalnya, Dinas Sosial merilis ada sekitar 7.441 PSK pada 2011.(infobank.news.com, 23/8/12).

Di Surabaya, dari enam lokalisasi saja ada sekitar 2.027 orang dengan 612 mucikari per 2011. Jumlah itu termasuk mengalami penyusutan ketimbang 2009 yang mencapai 3.225 PSK dan 868 mucikari. Di tempat lokalisasi seperti itu per satu orang PSK rata-rata mendapat pelanggan dua hingga tiga orang dalam sehari.

Urusan jumlah, Jakarta mencatatkan angga tertinggi. Pezina di ibukota ini diperkirakan mencapai 23.000 hingga 27.000 orang. Angka itu belum termasuk yang merangkap bekerja di tempat hiburan malam dan bekerja secara silent. Per 2011 pekerja hiburan malam di Jakarta mencapai 670.000 orang.

Berdasarkan hasil penelusuran tim Infobank, pekerja hiburan malam banyak yang merangkap sebagai wanita prostitusi. Di beberapa panti pijat, misalnya, wanita-wanita muda yang berprofesi sebagai terapis juga merangkap sebagai peramu nikmat. Bahkan, nilai transaksinya jauh lebih besar daripada hasil yang diperoleh panti pijat tempatnya berpraktik.

Tentu saja, kondisi ini sangat meresahkan. Hal itu menyebabkan menjamurnya kemerosotan moral. Keberadaan mereka memberi peluang bagi para lelaki hidung belang. Akibat selanjutnya, kegoncangan rumah tangga karena suami yang suka ¨jajan¨, penularan penyakit seksual dan termasuk kelahiran bayi-bayi tanpa nasab yang jelas. 

STOP REGENERASI
Problem pelacuran menjadi salah satu penyakit sosial paling tua di kota-kota besar. Belum ada pemimpin negeri ini yang benar-benar mampu menumpas pelacuran tuntas hingga ke akar-akarnya. Padahal, bukan mustahil jika negeri ini bebas dari pelacuran.

Dulu, Jakarta punya Kramat Tunggak yang merupakan lokalisasi pelacuran terbesar di Asia Tenggara. Tahun 1990-an, jumlah pelacurnya lebih dari 2.000 orang di bawah kontrol sekira 258 mucikari. Tempat ini juga menjadi sumber penghidupan bagi lebih dari 700 pembantu pengasuh, sekira 800 pedagang asongan, dan 155 tukang ojek. Belum lagi tukang cuci dan pemilik warung-warung makanan yang bertebaran di sekitarnya. Lahan lokalisasi juga terus berkembang hingga 12 hektare. Namun pada 1999, atas ide Gubernur Sutiyoso, lokalisasi ini ditutup dan dibangun Jakarta Islamic Centre di sana.

Jadi, bukan tidak mungkin pelacuran bisa dihilangkan. Lagipula, para pelacur itu juga manusia. Sebagian dari mereka terjerumus di lembah hitam karena keterpaksaan. Desakan ekonomi, begitulah alasan klasiknya. Jika mereka dientaskan dan diberi kehidupan normal yang layak, naluri terdalam mereka niscaya tidak akan menolak. Terlebih jika usia semakin senja, akankah mereka melacur selamanya? Atau bahkan mewariskan kemaksiatan itu pada anak cucunya?

Sungguh kejam jika hal ini terus dibiarkan. Penghapusan pelacuran sangat penting agar tidak terjadi regenerasi prostitusi. Jangan sampai generasi muda yang saat ini begitu dekat dengan pergaulan bebas, mewarisi pelacuran sebagai pelampiasan.

Bukankah sekarang sudah begitu banyak gadis-gadis remaja menjadi korban perdagangan manusia? Mereka terjerumus ke lembah hitam, menggantikan para pendahulunya yang semakin layu dan tak lagi laku. Naúzubillahiminzalik.

Dengan demikian, penyematan gelar pahlawan pada pezina akan semakin menyuburkan kemaksiatan. Terlebih, dengan logika yang sama, semua pelaku kejahatan yang berdalih untuk menghidupi keluarga, bisa menuntut gelar yang sama. Penipu, bandar/pengedar narkoba, maling, rampok, begal, penjudi dan bahkan koruptor, apakah akan dipahlawankan juga?(*)

Pantai Indramayu difoto dari kejauhan. Foto by Asri Supatmiati.


No comments: