Balita Pencari Nafkah



Oleh Asri Supatmiati, S.Si
Nara Sumber Voice of Islam, Program Cewek Only

Belakangan ini ajang adu bakat untuk anak-anak, bahkan bayi dan balita mencuat lagi. Di antaranya yang diselenggerakan oleh produsen beberapa merek susu formula. Mirip Idola Cilik yang kini sedang vakum, tapi menjaring usia lebih muda, mulai 3 hingga 6 tahun. Tujuannya: untuk menggali kemampuan sang buah hati dalam hal bernyanyi, menari, bermain musik atau gabungan ketiganya. Diharapkan, mereka menjadi anak yang kreatif dan percaya diri.
Seperti biasa, ajang seperti ini disambut luar biasa antusias oleh para orangtua. Mereka berlomba-lomba mendorong putra-putrinya untuk berani tampil. Apalagi kesempatan sangat terbuka. Maklum, audisi pencari bakat balita ini berlangsung di 25 kota di seluruh Indonesia. Nanti, pemenang di babak final, baru “diboyong” ke Jakarta untuk menampilkan kebolehannya. Perjalanan cukup melelahkan untuk menjadi bintang bayi.

EKSPLORASI
Mengekplorasi bakat anak-anak boleh-boleh saja, bahkan penting. Masing-masing anak memiliki talent dan kecenderungan untuk mengasahnya menjadi sebuah hobi yang menyenangkan. Selain itu, juga mengembangkan nalar dan kreativitasnya. Selama tujuannya untuk mendukung pendidikan, mendorong keinginan untuk mencuatkan potensi terpendam anak, sah-sah saja.
Bahkan, terkadang memang diperlukan ajang untuk menyalurkan energi anak di bidang kreativitas yang cenderung kurang wadah. Namun, jangan sampai ajang seperti ini jadi wadah untuk sekadar mencetak artis cilik.
Terutama orangtua, jangan sampai terobsesi dengan segala kelebihan anaknya. Ia lantas berharap anaknya –terutama yang menang-- akan menjadi mesin uang. Mendapat tawaran show sana-sini, jadi bintang iklan, main sinetron, jadi penyanyi, main film, dll.
Berlindung di balik ungkapan “demi anak”, orangtua bekerja keras menjadikan anaknya mau dan berani menjadi bintang. Bukan semata-mata kehendak si anak, tapi ambisi orangtua. Ujung-ujungnya duit puluhan, bahkan ratusan juga mengalir deras. “Hasilnya kan ditabung untuk masa depan dia juga,” begitu alasan sang mama-papa.
Anakpun, akhirnya terbentuk menjadi pribadi yang sok ngartis. Sehari-hari berlagak bak idola, bergumul dengan jadwal show yang padat dengan segudang fasilitas mewah plus lingkungan pergaulan glamour. Ia kehilangan dirinya sendiri: waktu bermain, hak privacy, dan teman-temannya.
Di sinilah dipertanyakan, batasan antara “ekplorasi” potensi anak dan “eksploitasi.” Sejatinya tipis sekali, karena jika tidak mampu mengendalikan diri, niscaya orangtua jatuh ke dalam kubangan eksploitasi anak.
Masalahnya, eksploitasi anak kerap hanya dialamatkan kepada kaum marginal. Ketika ada anak-anak mengemis, mengamen atau dipekerjakan, serta merta orangtuanya dituduh telah mengeksploitasi anak. Mereka dicaci dan maki, dicap orangtua gagal, tak bertanggungjawab, menelantarkan dan melanggar hak asasi anak.
Padahal, mayoritas kondisi itu terjadi karena keterpaksaan. Orangtuanya miskin, tidak berpendidikan, tidak memiliki penghasilan tetap, bahkan juga menggelandang. Mana ada orangtua di dunia ini yang tega melihat anaknya terlantar? Yang ada, negaralah yang tega membiarkan para orangtua seperti ini, kesulitan dalam memenuhi hak-hak anaknya.
Walhasil, anak-anak kaum marginal ini, boro-boro mendapat kesempatan meng-eksplore talentanya, mereka disibukkan diri mengais recehan. Di usia sangat dini mereka harus bergumul dengan kejamnya dunia. Kejamnya sistem yang tidak menjamin kesejahteraan dan keadilan, bagi orangtuanya, termasuk dirinya.
Nasib mereka jelas sangat kontras dengan dunia anak-anak di panggung hiburan. Orangtuanya, produsernya dan semua yang terlibat dalam eksploitasi justru disanjung dan dipuji. Tak pernah disorot dan dituding mengeksploitasi anak-anak alias bocah dibawah umur itu. Mereka justru dianggap berjasa bak pahlawan, karena berhasil menemukan bakat terpendam anak hingga menjadi “sukses”. Apa ukuran suksesnya? Terkenal dan mendatangkan uang.

MATERIALISTIS
Cara pandang yang sungguh tidak adil seperti di atas, dipengaruhi pola pikir dan gaya hidup masa kini yang serba materialistis. Bagi kalangan tertentu, anak dianggap aset bagi orangtuanya. Selama aset itu bisa dimanfaatkan untuk mendatangkan materi, kenapa tidak?
Mereka akan selalu berdalih, semua itu demi masa depan anak. Justru dengan mendapatkan honor, anak-anak mampu mewujudkan semua keinginannya. Lagipula, anak-anak enjoy, tidak merasa terpaksa dan dipaksa.
Padahal sudah bukan rahasia, anak-anak yang diorbitkan menjadi artis sejak usia dini, tak sedikit yang labil jiwanya. Kalaupun ada artis cilik yang sejak kecil menunjukkan ke-enjoy-annya, juga berprestasi bagus di sekolah, bisa dihitung dengan jari.
Yang pasti, umumnya artis cilik harus mengikuti jadwal manggung sana-sini yang cukup menyita energi. Belum lagi syuting sinetron atau iklan yang kerap sampai pagi. Mereka tak sempat bermain normalnya anak kecil, kecuali di sela-sela “jam kerjanya.” Padahal bermain adalah dunia anak yang sangat berharga.
Terlebih, sebagai idola, mereka dituntut tampil tanpa cela. Harus selalu tampak anggun, imut dan menggemaskan. Harus mandiri, tidak boleh cengeng, tak boleh melakukan kesalahan dalam setiap penampilannya.
Yang lebih memprihatinkan, anak-anak dengan bakat luar biasa ini, akhirnya hanya akan menjejali dunia hiburan ketika dewasa. Hampir dipastikan, artis cilik akan selamanya menjadi artis hingga dewasa, atau bahkan usia senja. Maklum, sudah mencicipi nikmatnya dapat duit di panggung hiburan yang serba gemerlap, akhirnya mengabaikan cita-cita luhurnya di masa lalu.
Akhirnya, tujuan mulia untuk menggali potensi anak demi mendukung pengembangan kecerdasan dan kreativitasnya di masa depan menjadi tergadaikan. Semoga bukan seperti ini yang akan terjadi. Semoga ajang-ajang penggalian bakat anak benar-benar murni sekadar sebagai wadah kreativitas anak. Bukan kedok melahirkan mesin-mesin uang baru di industri hiburan yang memang sangat menggiurkan.(*)

Abyan (baju hijau) menyanyi di perpisahan PAUD Belia Kita. Anak-anak suka nyanyi dan seni lainnya, tapi bukan untuk dieksploitasi. (Foto by Asri. Location: PAUD Belia Kita, Curugmekar, Bogor)


No comments: