Misteri Miss Universe


Oleh Asri Supatmiati
Jurnalis, Penulis Buku-buku Islam
Miss Universe selalu kontroversial. Tahun ini, kontes ratu sejagat itu menobatkan Leila Lopes asal Angola sebagai perempuan paling cantik di dunia. Kontestan lain yang berkulit putih jelas shock berat. Bagaimana tidak, ada 88 gadis cantik lain dari berbagai negara, yang dalam kacamata umum, melebihi wanita negro itu, tapi kok kalah? Aneh bin ajaib. Juri Miss Universe kali ini seleranya benar-benar membuat bingung.
Apa kelebihan gadis 25 tahun yang berkulit hitam itu? Memang ada yang menyebut-nyebut, kulit hitamnya lebih eksotis. Juga dikatakan, Leila memiliki inner beauty melebihi kontestan lain. Lebih-lebih, kulit dan onderdil tubuhnya itu benar-benar orisinil, bukan hasil bedah plastik sana-sini seperti kebanyakan dilakukan sebagian kontestan kecantikan.
Well, semua itu hanya juri yang tahu. Kenapa kali ini mahkota Miss Universe disematkan di kepala gadis negro, tak terlepas dari kontroversi. Tapi yang jelas tujuannya tetap satu: kepentingan bisnis.
Artinya, apapun pilihan juri, tak lepas dari kepentingan bisnis para sponsor di belakangnya. Siapa lagi kalau bukan konglomerat dunia Donald Trump yang secara resmi menjadi pemilik organisasi Miss Universe.
Memang, yang berpikir dangkal ada yang berseloroh, Amerika Sekarang kan saat ini presidennya –plus first ladynya tentu saja-- berkulit hitam, jadi “hitam” memang sedang menjadi trend dunia. Meski bukan wakil Amerika Serikat, namun negro kali ini dipilih dari Afrika. Kuat dugaan, kulit hitam dipilih karena pengusaha-pengusaha kelas kakap dunia berhasrat melirik Afrika.
Kita tahu, beberapa waktu lalu, Piala Dunia sudah sukses digelar di Benua Afrika, tepatnya di Afrika Selatan. Tentu saja, bukan hanya bola yang kemudian menjadi trend setter, melainkan gaya hidup. Nah, Miss Universe mengemban misi “menjajah” Afrika dengan trend gaya hidup ala Barat. Agar fashion ala Barat semakin mendunia, kini Afrika jadi sasaran.
Tapi, bukankah Afrika benua miskin, gersang dan tandus? Di mana daya beli mereka? Sejatinya, tak semua kawasan Afrika miskin, ada beberapa juga yang cukup “maju”. Misalnya Afrika Selatan. Nah, para investor justru melirik Afrika karena selama ini belum ada yang “menggarap”. Kalau digarap dengan serius, bisa jadi, negeri-negeri miskin di sana mencuatkan potensinya.
***
Kembali soal kontes Miss Universe, yang jelas kontestan Indonesia lagi-lagi gagal total. Jangankan menyabet salah satu gelar, masuk 16 besar sesuai target pun tidak. Padahal, dalam setiap pemberitaan terkait keikutsertaan Putri Indonesia ke Miss Universe, selalu disebut-sebut kontestan Indonesia masuk unggulan. Pokoknya beritanya “membumbung” tinggi, seolah-olah akan menang saja.
Itu terjadi tak hanya tahun ini, tahun-tahun sebelumnya selalu begitu. Pada saat peserta dikarantina, di tanah air selalu disuguhi berita “menggembirakan” mengenai keunggulan kontestan Indonesia. Polling tertinggilah, presentation show yang mendapat appalus meriahlah, national costum yang memikat juri dan peserta lainlah, dll.
Nyatanya, saat acara penobatan, semua jadi nol. Tak ada “kebanggaan” apapun. Terlebih tahun ini, Nadine Alexandra Dewi Ames yang dalam setiap kesempatan menyebut-nyebut “sangat percaya diri” untuk menang, tahunya kalah telak. Ironisnya, dikalahkan negro.
Padahal Nadine –dan peserta Miss Universe tahun-tahun sebelumnya-- sudah terlanjur mengumbar auratnya. Sudah terlanjur “mengobral” tubuh indahnya. Sudah terlanjur berbikini ria. Sudah terlanjur membuang rasa malunya. Sudah terlanjur membuang dana ratusan juta. Sudah terlanjur buang-buang energi bangsa dalam pro dan kontra.
Eh, bukannya pada introspeksi untuk menghentikan aksi eksploitasi tubuh perempuan, para pendukung kontes kecantikan justru “merenung” untuk mencari tahu sebab-sebab kegagalan Nadine. Mimpi meraih mahkota ratu sejagat masih juga digantang.
Masih juga berharap, agar tahun depan tak gagal lagi. Agar tahun depan bisa mengirim kontestan yang berpeluang besar untuk menang. Mungkin mereka berpikir, kalau tahu kulit hitam bakal menang, kita kirim saja putri asal Papua atau provinsi lain yang penting berkulit gelap.
Hmm, coba kalau Miss Universe itu diselenggarakan oleh orang-orang Indonesia yang bermental korup. Kontestan kita pasti bisa menang. Setidak-tidaknya bisa mengantungi salah satu gelar. Kok bisa? Iya, soalnya apapun bisa dibeli dengan uang. Tinggal tanya “wani piro” (berani berapa?), urusan jadi beres. Gitu aja kok repot!
Kalo begitu, apakah tidak mungkin ajang Miss Universe juga sarat korupsi, kolusi dan nepotisme? Misalnya, apakah tim sukses Miss Angola tidak main suap-suapan sehingga bisa menang? Apakah tidak main mata dengan penyelenggara? Entahlah!
Yang jelas, siapapun Ratu Sejagat itu, nggak penting. Kalaupun wakil Indonesia bisa menang, tidak akan berpengaruh bagi kehidupan bangsa dan negara ini. Nggak ngaruh bagi rakyat miskin. Sebaliknya, sangat mengganggu bagi umat Islam, yang sedang berjuang melawan kepornoan, dan eksploitasi perempuan.
Selama kontes kecantikan digelar, selamanya eksploitasi perempuang akan langgeng. Karena itu, wahai perempuan, sadarlah, jangan mau terjajah oleh stereotype cantik ala produsen fashion dan kosmetik. Apalagi jika kecantikan hanya dilombakan demi sepempang ratu sejagat atau mahkota wanita tercantik di dunia.(*)

Mengapa Harus Mudik?


Oleh Asri Supatmiati

Masih soal mudik, pengalaman saya kali ini benar-benar di luar dugaan. Dibanding tahun-tahun sebelumnya, perjalanan darat lewat Pantura kali ini paling: heboh, macet, lama, dan sengsara. Belum pernah sejak merantau 1994 hingga saat ini, mengalami hiruk pikuk mudik separah tahun ini.
Heboh, karena kali ini keluarga besar di Bogor rame-rame pulang mudik bareng. Biasanya kami pulang sendiri-sendiri, sekarang kompak satu kendaraan. Selain keluarga inti, ada ponakan-ponakan plus anak-anaknya alias para “cucu”-ku.
Ada 11 “peserta” mudik, terdiri atas 6 dewasa dan 5 anak-anak, plus dua sopir. Total satu kendaraan berisi 13 jiwa. Tapi longgar sih, karena jenis kendaraannya memang gede kok. Bukan Avanza yang “dihuni” 10 orang dianggap kelebihan muatan. Sopirnya dianggap lalai dan lantas dipidanakan (lagi apes).
Padahal, sudah “tradisi” orang Indonesia, selalu memaksimalkan penumpang di kendaraan. Makanya, kalau beli kendaraan keluarga, selalu memilih yang muatnya paling banyak. Dan, itu juga yang jadi selling point produk-produk otomotif jika ingin menyasar segmen family.
Nah, dalam tradisi mudik, jangankan mengisi Avanza dengan 10 orang, mobil pik up dan truk yang notabene kendaraan barang pun, isinya manusia. Bahkan sudah rahasia umum, motor yang harusnya cuma dua orang, bisa untuk empat orang, yakni ayah-ibu plus dua anaknya (belum termasuk barang bawaannya yang dikaitkan dengan papan di bagian belakang dan tas yang digamit di depan).
Ya, seperti yang saya temui sepanjang perjalanan. Barangkali sekalian pindah rumah, ada pemudik yang “membawa” truk, dimana bagian atas bak penuh dengan lemari yang diikat tali sana-sini, lalu di bagian bawahnya manusia. Perabot dikondisikan sedemikian rupa, sehingga para penumpangnya bisa berteduh di bawahnya, mirip di dalam gua. Duh!
Lalu mobil pik up, dibuatlah atap dari terpal dengan penyangga bambu di empat pojok bak mobil. Sepanjang perjalanan, walau panas, penumpangnya tetap asyik sembari ngobrol dan ngemil. Kendaraan seperti L-300, ELF, APV dan sejenisnya, semua sarat penumpang plus barang. Tapi, semua seolah ditoleransi. Tak ada yang ditangkap polisi, ditilang, dihentikan agar muatannya dikurangi atau penumpangnya diturunkan. Soalnya, kalau petugas berbuat begitu, bisa-bisa semua kendaraan tak jadi mudik.
Ini bukannya menganjurkan agar mengisi kendaraan sebanyak mungkin, yang memang berpeluang mencelakakan seluruh penumpang, cuma nyinyir saja, menyindir aparat. Kalau mau konsisten, tertibkan dulu kendaraan umum yang selama ini beroperasi tanpa mengindahkan keselamatan penumpang.
Coba saja tengok angkutan-angkutan umum di berbagai kota atau antarkota, bangku yang harusnya isi 3 saja bisa jadi 4. Bangku depan harusnya isi 1, bisa jadi 2. Kejar setoran, dalihnya.
Tapi, sejauh ini, sepanjang sejarah, tak pernah kendaraan semacam itu --yang konon sangat membahayakan penumpang-- ditangkap, lalu ditilang atau bahkan dicabut izin operasinya.
Lebih parah, coba tengok kereta api ekonomi, misal jurusan Bogor-Jakarta. Penumpang berdiri empet-empeten, (maaf) tukar-menukar keringat, bergelantungan di pintu atau merayap di atap gerbong. Sudah sangat tidak manusiawi, tapi tetap dipertahankan. Nanti semua baru berkoar kalau sudah terjadi kecelakaan. KRL sudah tak layaklah, kurang dana operasionallah, PT KAI rugi teruslah, penumpang tidak tertiblah, dll.
***
Nah, kembali soal mudik, selain heboh, macetnya juga luar biasa. Bayangkan, selama 24 jam perjalanan dari Bogor, baru sampai Brebes. Padahal kondisi normal, ke Brebes bisa ditempuh maksimal 8 jam. Sehari semalam itu, harusnya rombongan kami sudah sampai kota tujuan: Magetan. Nyatanya, perjalanan molor sehari semalam. Praktis kami harus menghabiskan dua malam di jalan.
Tentu saja dampaknya luar biasa. Bekal yang harusnya cukup untuk sehari semalam, jadi nambah. Biaya pun berlipat dua. Uang bensin, makan, minum dan toilet. Lalu hidangan di rumah orangtua, yang sudah disiapkan guna menyambut anak-anak dan cucu-cucu tercinta ini, tak tersentuh alias menjadi basi.
Sama persis dengan kekacauan yang ditimbulkan pemerintah gara-gara “mengundur” Lebaran dari 30 Agustus menjadi 31. Pedagang bunga merugi, pembuat ketupat kelimpungan, pembagi zakat kalang kabut, penggiat takbir keliling pusing, wartawan yang meliput salat id terpaksa kerja dua kali.
***
Tradisi mudik sudah puluhan tahun. Tapi, kondisi bukannya membaik, malah memburuk. Kenapa? Semua belindung pada pembenaran: kalau nggak macet bukan mudik. Mudik ya begitu, sengsara membawa nikmat.
Lantas, kenapa sih masyarakat urban –termasuk saya tentunya-- mau-maunya “tersiksa” luar biasa di jalanan yang pada musim mudik menjadi pencabut nyawa nomor wahid (tahun ini 771 tewas, naik 33 persen dibanding tahun lalu)? Juga, mengapa rela merogoh jutaan rupiah untuk sekadar pulang kampung?
Jawabnya, tentu bukan sekadar karena rasa kangen dan kewajiban untuk bersilaturahmi dengan orangtua atau keluarga besar. Juga, bukan sekadar karena mengisi liburan panjang yang hanya setahun sekali. Bukan pula karena ingin bernostalgia tentang masa kecil, reuni dengan kawan lama atau mengetahui kabar para kenalan lama di kampung.
Mereka harus mudik, karena mereka merantau (hehe). Mengapa mereka merantau? Akar masalahnya yakni tidak adanya pemerataan pembangunan di berbagai bidang. Akibatnya, tidak ada jaminan kesejahteraan di berbagai wilayah. Terjadi ketimpangan pembangunan di kota dan desa, ibukota dan ibudesa. Pembangunan bidang ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, politik, usaha, hiburan, dll.
Pembangunan terpusat di kota-kota besar, tidak menjangkau daerah. Akibatnya, terjadilah urbanisasi. Semua ingin mengadu nasib menjadi lebih baik di kota. Entah dengan tujuan melanjutkan pendidikan tinggi, berwirausaha, bekerja, mencari proyek, menjadi karyawan pabrik/kantoran, dll. Semua demi satu tujuan: kesejahteraan.
Coba, kalau di kampung saya, atau minimal di kotanya, seperti Magetan atau Madiunnya, ada kampus keren sekelas Institut Pertanian Bogor, sejak dulu saya tak perlu merantau jauh-jauh ke Bogor. Kalau di sana juga ada pabrik-pabrik yang menyedot banyak tenaga kerja, tak perlu para buruh menyerbu ibukota.
Bukankah filosofi orang Jawa mengatakan, mangan ora mangan sing penting kumpul (makan atau tidak yang penting kumpul)? Artinya, dari lubuk hati terdalam, setiap individu sejatinya ingin selalu berkumpul dengan keluarga besarnya. Ingin dekat orangtua, kakak, adik, paman, bibi, ponakan, dll. Namun apa daya, karena mengejar rezeki, terpaksa jauh dari orang-orang tercinta. Seperti pengorbanan para TKI yang merantau ke negeri seberang meski nyawa taruhannya. Itu sebabnya, meski sengsara di perjalanan, mudik tetap jadi ritual. Soalnya pula, kapan lagi, karena setahun sekali kita hanya diberi libur panjang selama musim Lebaran. Usai itu, diperas lagi oleh roda-roda perekonomian zaman.
Intinya, kalau mudik tak mau sengsara, kurangilah volume pemudik. Bukan sekadar menambal jalur mudik, memberangkatkan pemudik gratis, membuka pos-pos jaga 24 jam, mengerahkan ribuan personel lalulintas, dan sejenisnya.
Yang sudah terlanjur merantau seperti saya ini, yang sudah beranak-pinak, ya tak bisa dicegah akan selalu mudik setiap tahun. Tapi, “cegahlah” supaya warga pedesaan, kota-kota kecil, tahun-tahun depan tak perlu ikut-ikutan merantau. Caranya ya itu tadi: ratakan pembangunan, distribusikan kesejahteraan. Apa salahnya membangun pabrik di desa, mendirikan sekolah bonafit/perguruan tinggi di berbagai kota, membangun rumah sakit murah dan modern di desa, bukankah itu untuk kemajuan bangsa? Bukankah rakyat pedesaan juga manusia yang berhak atas itu semua? (stop, kalo tulisan saya teruskan bisa terlalu panjang! Oke) (*)

Suasana Lebaran di kampung halaman yang tak terbayar senilai materi.(Foto by Asri. Location: Plaosan, Magetan)

Andakah Jodoh Mereka?


Oleh Asri Supatmiati

Mudik selalu membawa cerita unik. Kali ini tentang teman-teman sekolah SD. Ada dua sahabat perempuanku yang di usianya sekarang, 36 tahun, ternyata masih jomblo. Satunya, sebut saja Siti yang berprofesi sebagai guru. Dia terlahir kembar. Nah, kembarannya yang juga perempuan sudah menikah dan punya anak.
Dibanding kembarannya yang memang tidak identik, secara fisik Siti lebih putih, langsing dan menarik. Semua orang kampung tahu itu. Tapi, inilah rahasia jodoh. Cantik, langsing, putih dan menarik bukan jaminan enteng jodoh. Wajah Siti tidak jelek untuk ukuran perawan kampung. Tapi, ternyata hingga kini masih jomblo.
Nah, rumah Siti tak jauh dari rumahku, kira-kira berjarak 50 meter. Jadi, aku tahu persis dia masih sendiri. Kepadanya, aku tidak berani bertanya kapan menikah, karena khawatir itu menyinggung perasaannya. Sensitiflah pertanyaan itu untuk perempuan lajang. Jadi, aku cuma basa-basi, tidak saling membahas soal kerumahtanggaan, topik khas ibu-ibu. Tentu saja, tidak banyak yang bisa kami obrolkan kecuali nostalgia, karena topik paling gayeng bila bertemu sesama teman perempuan, apalagi kalau bukan soal anak-anak dan keluarga.
Nah, teman satu lagi namanya sebut saja Aty. Rumahnya beda RW dengan rumah orangtuaku. Lama tak jumpa, aku sama sekali tak tahu kalau dia juga belum menikah. Waktu jalan-jalan ke pasar, aku bertemu dia yang sedang duduk bersama adiknya menjagi dagangan. Setelah basa-basi, terlontarlah dari mulutku, pertanyaan: “berapa anakmu?”
Untungnya, Aty itu periang, murah senyum dan rame orangnya. Jadi, dia menanggapi dengan candaan saja. Dari situ aku tahu dia belum menikah. “Terima lowongan nih,” katanya dengan bahasa Jawa.
Tak hanya di kampung,teman jombloku di kota tempat tinggalku juga ada. Ada yang profesinya guru, ada yang humas sebuah perusahaan bonafit, ada yang fokus menjadi daiyah. Semuanya berusia di atas 30 tahun, bahkan mendekati 40 tahun. Akupun hanya bisa mendoakan, semoga kawanku yang jomblo-jomblo itu segera mendapatkan jodohnya.
Lain jomblo, lain pula janda. Ya, ada satu teman perempuanku lagi yang di usia 36 tahun sudah ditinggal pergi suaminya. Sebut saja dia Tia. Wajahnya tampak lebih tua dari usianya. Aku saja sampai pangling. Suami Tia meninggal dunia setelah menenggak minuman keras oplosan. Kini, dia menghidupi diri dengan menjaga toilet pasar.
Selain Tia, aku juga punya beberapa teman janda yang hidup tanpa suami di kota tempat tinggalku kini. Ada Ely yang menjanda tanpa anak karena suaminya meninggal dunia karena penyakit. Lalu Wina yang menjanda dengan satu anak, juga karena suami sakit keras dan meninggal dunia. Kemudian Triana yang menjanda dengan satu anak lelaki, setelah dicerai suaminya yang menikah lagi. Ada lagi Lisa yang menjanda dengan empat anak-anak, setelah suami tercinta meninggal karena sakit. Terakhir Rara yang ditinggal suaminya meninggal, sementara ia harus menghidupi lima anak-anaknya.
Mereka semua, tampaknya bukan orang yang beruntung dalam soal kehidupan rumah tangga. Fakta ini membuatku bercermin. Setidaknya, dibanding teman-temanku tadi, aku merasa beruntung. Di usia 36 kini, anakku sudah berusia 10 tahun, 4 tahun dan 2 tahun. Aku menikah sesuai target, usia 25 tahun. Ini bukan bentuk kesombongan, tapi rasa syukur. Suer!!!
Dan, aku menulis “kisah” teman-temanku itu, juga bukan untuk “menyukurkan” (meledek, red) nasib mereka. Aku justru terpikir, bila aku mampu, bagaimana cara “membantu” mereka, dalam arti agar mereka segera menemukan jodohnya (kembali).
Aku yakin, baik yang jomblo maupun yang janda, di lubuk hati kecilnya yang paling dalam, sangat mendambakan hidup berumah tangga. Membangun keluarga lengkap: ayah-ibu dan anak-anak. Membangun rumah impian mereka. Memandu tumbuh kembang para buah hati tercinta.
Lantas, dimanakah jodoh mereka? Adakah di antara kalian, wahai para pemuda lajang atau para suami yang berniat berpoligami, satu di antara jodoh mereka? Adakah di antara kalian yang tergerak mewujudkan mimpi-mimpi mereka berumah tangga?

Ponakan Ervin Faurizal akhirnya menikah juga dengan jodohnya. Semoga langgeng. (Foto by Somone. Location: Brebes).