Mengapa Membatasi Penduduk (Jawa)?





Oleh Asri Supatmiati, S.Si

Wakil Presiden Jusuf Kalla mengeluarkan pernyataan menggelikan. Ia menilai jumlah penduduk di Pulau Jawa sudah sangat padat. Karena lahan sempit, maka ia mengusulkan agar keluarga di Jawa dibatasi satu anak. “Menurut saya, karena lahan sempit maka penduduk berdesakan. Kalau banjir habis semua. Maka kalau perlu memiliki anak hanya satu,” ujar Kalla ketika membuka Rapat Kerja Program Keluarga Berencana Nasional di Kantor Wakil Presiden, kemarin (Radar Bogor, 7/2/07).
Pernyataan Wapres saya sebut menggelikan, karena paradigma yang dipakai sebagai pijakan, hanyalah asumsi. Gara-gara banjir kok menyalahkan jumlah penduduk Jawa. Apa korelasinya? Aneh!
Asumsi yang Lemah
Kelemahan argumen Wapres karena pertama bukan angka natalitas saja yang bertanggungjawab atas terjadinya 'ledakan' penduduk di Jawa. Padatnya penduduk di Jawa bukan semata disebabkan oleh tingginya angka kelahiran, melainkan juga karena arus urbanisasi dari luar Jawa.
Jawa, sampai saat ini masih menjadi daerah favorit para perantau untuk mengadu nasib. Mengapa harus ke Jawa? Jawabnya, karena tidak meratanya pembangunan di berbagai wilayah, utamanya di luar Jawa. Perantau berdatangan dari berbagai pulau di seluruh penjuru Indonesia.
Motifnya beragam. Ada yang karena menimba ilmu di perguruan tinggi di Jawa yang masih menjadi barometer pendidikan di tanah air. Ironisnya, setelah selesai menimba ilmu, mereka lantas bekerja dan akhirnya menetap di Jawa.
Ada yang bekerja di berbagai sektor karena sektor industri –harus diakui-- yang pesat pembangunannya di Jawa. Ada pula yang bekerja di sektor informal seperti menjadi buruh bangunan, pedagang kaki lima sampai pedagang keliling di perumahan-perumahan.
Kedua, padatnya penduduk di Jawa hanya terjadi di kota-kota metropolitan. Artinya, tidak terjadi distribusi penduduk yang merata di seluruh Jawa. Masih banyak sudut-sudut di Pulau Jawa ini yang lengang dari jamahan penduduk. Banyak lahan-lahan di pedesaan yang masih sangat luas untuk ditempati keluarga, bahkan dengan anak banyak sekalipun.
Dengan demikian, sangat tidak bijak jika menuduh angka natalitas sebagai penyebab ledakan penduduk, apalagi penyebab banjir. Kalau mau mengurangi penduduk di Jawa, bukan membatasi kelahiran solusinya, melainkan distribusikan penduduk dan ratakan pembangunan, khususnya di daerah-daerah terutama luar Jawa. Adapun banjir di Jawa, tidak ada korelasinya dengan jumlah penduduk, melainkan akibat pembangunan ekonomi ekploitatif yang tidak ramah lingkungan dan manajemen tata kota yang tidak baik.
Teori Usang
Berbicara tentang KB, program ini dikemas dengan tujuan mulia, yakni meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan keluarga. Logikanya, dengan semakin beratnya beban ekonomi saat ini, jumlah anak yang sedikit akan lebih terjamin kesejahteraannya dibanding keluarga dengan anak banyak. Benarkah tingginya natalitas bertanggungjawab terhadap kemiskinan?
Secara individual dan dalam jangka pendek, mungkin tujuan tersebut dapat tercapai. Tetapi secara makro dan dalam jangka panjang, patut diwaspadai dampak negatifnya. Tingginya masyarakat yang jatuh ke jurang kemiskinan, bukan semata-mata karena tingginya angka natalitas. Banyak warga yang tetap miskin meski jumlah anaknya sedikit.
Tidak sejahteranya sebuah keluarga bukan karena faktor banyak anak semata, melainkan tidak meratanya distribusi kekayaan. Ini karena diterapkannya sistem ekonomi kapitalisme yang meniscayakan jurang pemisah antara yang miskin dan yang kaya. Kemiskinan lahir dari ketidakadilan yang diciptakan sistem ekonomi kapitalis.
Pembangunan berbasis kapitalisme hanya mengedepankan pertumbuhan, dan bukan pemerataan. Selama pemerataan ekonomi belum terjamin, seketat apapun pembatasan angka kelahirkan, tidak akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebab, alam sejatinya sudah menyediakan sumber pangan yang cukup untuk umat manusia, hanya saja pengelolaan yang salahlah yang menyebabkan seolah tidak cukup untuk manusia. Itu karena pembangunan tidak menjamin pendistribusian kekayaan secara merata.
Dan itulah kelemahan Teori Maltus yang menjadi azas rekayasa kependudukan. Teori usang ini sejatinya hanya berpijak pada asumsi dan bukan kebenaran. Teori ini mengatakan bahwa pertumbuhan pangan ibarat deret hitung, sementara pertumbuhan penduduk ibarat deret ukur. Artinya, pertumbuhan penduduk jauh lebih banyak dibanding pertumbuhan pangan. Dari sini disimpulkan, jika pertumbuhan penduduk tidak dikendalikan maka akan terjadi ledakan penduduk di mana jumlah pangan yang ada tidak akan mencukupi untuk seluruh umat manusia. Akibatnya, manusia akan kekurangan pangan.
Lalu lahirlah kebijakan menekan angka natalitas. Kebijakan ini dijajakan ke seluruh penjuru dunia. Indonesia, sejak 1970-an telah menerapkan program ini. Kendati semula menimbulkan pro dan kontra, program KB dinilai berhasil dengan menekan angka kelahiran sampai mencapai 2,6 pada tahun 2005. Namun, angka ini masih dinilai kurang ideal menurut PBB karena yang diharapkan mencapai 2,1. Itu sebabnya, PBB sampai menyerukan zero tolerance untuk program KB ini. Padahal di negara-negara maju sendiri, program ini telah ditinggalkan. Mengapa?

Ironi Pembatasan Natalitas
Dampak rekayasa demografi yang dicetuskan Maltus sejak tahun 1920-an telah menuai badai. Teori usang itu melahirkan problem-problem sosial akibat rendahnya angka natalitas dan makin tingginya penduduk usia tua. Pembatasan kelahiran, dalam jangka panjang dibayar mahal dengan semakin minimnya generasi produktif dan semakin menuanya usia penduduk. Hal ini jelas membahayakan bagi eksistensi negara dan peradaban tersebut.
Negara-negara di Eropa dan bahkan sebagian Asia, kini mengalami ancaman loss generation akibat rekayasa demografi. Program pembatasan kelahiran di Tiongkok misalnya, harus dibayar mahal dengan krisis generasi. Pasangan suami-istri di sana hanya boleh memiliki satu anak. Dampaknya, aborsi terhadap janin perempuan pun meningkat karena pasangan suami-istri lebih memilih anak laki-laki. Sebuah tradisi jahiliyah yang terulang di era modern ini. Ironis. Itu sebabnya, kini Tiongkok mulai 'tobat' dan menata kembali kependudukannya, karena jumlah penduduk banyak ternyata menjadi aset penting bagi perekonomian bangsa itu.
Sementara itu, angka kelahiran di Eropa terus merosot. Spanyol misalnya, salah satu negeri yang terancam ‘punah’. Tingkat kelahiran bayi termasuk yang paling rendah di dunia. Rata-rata angka kelahiran perempuan Spanyol adalah 1,12. Kekhawatiran yang sama juga terjadi di Italia dan Jerman (Dw.org/03.02.2005). Karena itu, pemerintah di negara-negara itu memberikan hadiah bagi perempuan yang mau hamil dan melahirkan anak.
Juga di Korea Selatan, dimana tahun 2004 natalitasnya tercatat 1,16, merupakan rekor terendah di negara tersebut. Menurut badan statistik nasional Korsel (NSO) angka tersebut turun dari 1,19 yang tercatat pada tahun 2003. Angka itu lebih rendah dari yang dicatat Jepang sebesar 1,288, dan jauh lebih rendah dari negara-negara Eropa dan Amerika Serikat yang sebesar 2,04.
Ada penurunan tajam jumlah wanita yang melahirkan pada usia antara 25-29, karena mereka lebih memilih melahirkan setelah usia 30-an. Meski pemerintah Korsel telah memberikan subsidi guna mendongkrak angka kelahiran, tapi banyak kalangan muda Korsel menganggap memiliki anak merupakan beban terhadap keuangan mereka, selain mempengaruhi gaya hidup dan karir.

Pentingnya Regenerasi
Ada baiknya dipikirkan kembali upaya pembatasan kelahiran agar tidak menuai badai dalam jangka panjang. Pasalnya, secara global rekayasa kependudukan telah menimbulkan malapetaka loss generation. Terlebih, proses regenerasi adalah faktor terpenting bagi eksistensi sebuah keluarga, suku, komunitas, negara dan bahkan sebuah peradaban. Jika proses regenerasi terhenti, yang terjadi adalah hilangnya sebuah keluarga, suku, negara dan bahkan peradaban itu. Mustinya kita belajar dari negara-negara maju yang telah meninggalkan program ini perlahan tapi pasti.(*)

Asri Supatmiati, S.Si, penulis buku Indonesia Dalam Dekapan Syahwat