Belajar dari Kegagalan Keluarga di Barat


Oleh Asri Supatmiati, S.Si

Meningkatnya angka perceraian dewasa ini sungguh menyesakkan dada. Bagaimana tidak, sebuah keluarga yang dibangun puluhan tahunpun, tiba-tiba bisa berantakan. Keputusan pisah seolah demikian mudah dilakukan.
Laporan terakhir menyebutkan, delapan dari 100 keluarga bubar. Angka perceraian terus meroket. Pada 2005 mencapai 8,5 persen, sedangkan tahun 2000 6,9 persen. (Republika, 7/1/2007). Apa penyebabnya? Perselingkuhan menempati posisi pertama yaitu 9,16 persen. Artinya, rata-rata setiap dua jam ada tiga pasangan suami istri bercerai gara-gara selingkuh. Angka ini jauh melebihi poligami sebagai penyebab, yang pada lima tahun terakhir bertahan pada kisaran 0,5 persen.
Yang menarik, kemandirian (ekonomi) perempuan disinyalir sebagai salah satu penyebab. Ini tampak dari makin tingginya angka cerai gugat dibanding cerai talak. Pada tahun 2000, cerai talak sebesar 64 persen, sedangkan tahun 2005 cerai gugat justru meningkat menjadi 63 persen (Republika, idem). Seberapa bahaya kemandirian perempuan terhadap keguncangan rumah tangga dan bagaimana mengantisipasinya?
Ironi Wanita Karier
Adanya pergeseran nilai-nilai, dimana kaum perempuan semakin berani memilih hidup sendiri bukanlah isapan jempol. Hal itu juga diakui beberapa kalangan. Ketua Umum Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah, Evi Sofia Inayati, membenarkan hal itu. ''Saya pikir memang ada sikap atau perubahan nilai-nilai sosial yang sedang terjadi,'' ujarnya di kantor PP Muhammadiyah, Jakarta, Sabtu (23/12).
Beberapa tahun lalu, suami-istri -khususnya istri- akan memilih sikap bertahan demi keutuhan keluarganya, apapun masalah yang dihadapi. Apalagi bila telah memiliki anak. Namun kini tidak lagi, seiring dengan makin tingginya kemampuan ekonomi kaum hawa. Masalah anakpun seolah terabaikan. Padahal, perceraian selalu menorehkan luka menganga pada kejiwaan seorang anak.
Psikolog Universitas Indonesia Dini P Daengsari, mengakui banyaknya wanita yang bekerja membuat mereka kini tidak lagi banyak tergantung pada laki-laki. ''Sekarang wanita berani hidup sendiri, beda dengan dahulu ketika wanita lebih banyak bergantung pada laki-laki,'' tutur Dini (Republika, 24/12/06).
Fenomena seperti ini persis seperti yang telah terjadi di negara-negara maju (Barat) yang sering menjadi rujukan kaum perempuan. Gerakan keluar rumah yang dicetuskan para Feminis di Barat, telah menuai badai rumah tangga. Akibat banyaknya wanita bekerja dan mengaktualisasikan dirinya di ranah publik, kehidupan rumah tangga semakin rapuh.
Angka perceraian di Barat meroket sejak wanita-wanita berkiprah di ranah publik. Anak-anak hasil perceraian hidup dalam kelabilan jiwa. Semakin banyak anak-anak yang berperilaku agresif, bunuh diri, terlibat narkoba dan kriminal adalah buntut selanjutnya. Bahkan lebih jauh, kaum perempuan di Barat semakin enggan menikah dan mempunyai anak. Akibatnya, ancaman loss generation melanda negara-negara maju tersebut.

Berkarier di Rumah
Melihat kenyataan itu, gerakan perempuan di Barat telah menuju titik balik. Gebyar panggung karier di ranah publik kini semakin ditinggalkan kaum perempuan di sana. Kalaupun berkarier, mereka lebih memilih menekuninya di dalam ranah domestik. Berkarier di rumah telah menjadi trend di negara maju sejak lama. Dengan berkarier di rumah, perempuan tetap bisa mengerjakan kewajiban rumah tangga tanpa mereduksi kesempatan mereka untuk mengaktualisasikan diri dan mendapatkan sumber penghasilan.
Di Amerika, gerakan keluar rumah mulai ditinggalkan oleh kaum perempuan. Mereka berbondong-bondong memutuskan back to family. Berawal dari meluasnya sindrom Cinderella Complex, yakni perasaan akan kegamangan sebagai “public woman”, bermunculanlah organisasi-organisasi yang mendukung kembalinya kaum ibu kepada tugas domestik, sebagai pengatur rumah tangga dan pendidik utama anak-anak.
Mula-mula muncul Moms Offering Mom Support Club yang berdiri sejak 1983. Lalu Yayasan Mothers at Home yang berdiri 1984, Mothers & More tahun 1987 dan masih banyak lagi. Tak heran jika angka statistic partisipasi perempuan dalam karier di ranah public terus menurun (USA Today, 10/05/1991).
Di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia pernah mengkampanyekan Gerakan Kembali ke Rumah pada tahun 2004 (Republika, 16/12/04). Sayang, gaungnya kalah nyaring dibanding Gerakan Keluar Rumah yang di tanah air justru sedang mekar-mekarnya. Padahal, bencana rumah tangga seperti perceraian sudah menampakkan gejala-gejala penguatan. Karena itu, mustinya kita belajar dari perempuan karier di Barat yang telah bertobat dan kembali ke dalam rumahnya. Mustinya kita lebih bisa mengantisipasi sebelum gejala kehancuran keluarga semakin meluas.

Penutup
Semakin tingginya angka perceraian, tak bisa dibiarkan. Sebab dalam jangka panjang kondisi ini dapat melunturkan eksistensi lembaga pernikahan. Di sisi lain, dalam kondisi ekonomi sulit seperti saat ini, memang tak bijak jika menyalahkan 100 persen wanita pekerja sebagai biang perceraian. Apalagi jika itu dilakukan dalam kondisi keterpaksaan akibat kurangnya sumber penghasilan keluarga. Karena itu, pemberdayaan ekonomi perempuan harus diarahkan kembali ke fitrahnya, yakni ke rumah. Bagaimana perempuan tetap terakomodir keinginannya untuk berkiprah, tanpa meninggalkan rumah yang harus diayominya.(*)

Penulis adalah jurnalis, penulis buku-buku Islam. 
Keluarga kecilku. Location: Bogor Botanical Garden. Foto by Ninik.


Ancaman di Balik Rekayasa Demografi



Oleh Asri Supatmiati

Belakangan, program Keluarga Berencana (KB) kembali digalakkan. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengajak seluruh keluarga di Indonesia ikut mensukseskan program mewujudkan keluarga kecil bahagia ini. Hal itu disampaikan Kepala BKKBN Sugiri Syarief dalam paparan visi dan misi BKKBN di Jakarta 15 Januari 2006 lalu.
Program ini dikemas dengan tujuan mulia, yakni meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan keluarga. Logikanya, dengan semakin beratnya beban ekonomi saat ini, jumlah anak yang sedikit akan lebih terjamin kesejahteraannya dibanding keluarga dengan anak banyak. Benarkah tingginya natalitas bertanggungjawab terhadap kemiskinan?

Pijakan Asumsi
Secara individual dan dalam jangka pendek, mungkin tujuan KB itu tercapai. Tetapi secara makro dan dalam jangka panjang, patut dipertanyakan kebenarannya. Tingginya masyarakat yang jatuh ke jurang kemiskinan, tentu bukan semata-mata karena tingginya angka natalitas. Banyak warga miskin yang jumlah anaknya juga minim.
Tidak sejahteranya sebuah keluarga bukan karena faktor banyak anak semata, melainkan tidak meratanya distribusi kekayaan. Ini karena diterapkannya sistem ekonomi kapitalisme yang meniscayakan jurang pemisah antara yang miskin dan yang kaya. Kemiskinan lahir dari ketidakadilan yang diciptakan sistem ekonomi kapitalis.
Pembangunan berbasis kapitalisme hanya mengedepankan pertumbuhan, dan bukan pemerataan. Selama pemerataan ekonomi belum terjamin, seketat apapun rekayasa demografi tidak akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebab, alam sejatinya sudah menyediakan sumber pangan yang cukup untuk umat manusia, hanya saja pengelolaan yang tidak adillah yang menyebabkan seolah tidak cukup untuk manusia. Itu karena sistem pendistribusian kekayaan yang tidak merata.
Itulah kelemahan Teori Maltus yang menjadi azas rekayasa kependudukan. Teori ini sejatinya hanya berpijak pada asumsi dan bukan kebenaran. Teori ini mengatakan bahwa pertumbuhan pangan ibarat deret hitung, sementara pertumbuhan penduduk ibarat deret ukur. Artinya, pertumbuhan penduduk jauh lebih banyak dibanding pertumbuhan pangan. Dari sini disimpulkan, jika pertumbuhan penduduk tidak dikendalikan maka akan terjadi ledakan penduduk di mana jumlah pangan yang ada tidak akan mencukupi untuk seluruh umat manusia. Akibatnya, manusia akan kekurangan pangan.
Lalu lahirlah kebijakan menekan angka natalitas. Kebijakan ini dijajakan ke seluruh penjuru dunia. Indonesia, sejak 1970-an telah menerapkan program ini. Kendati semula menimbulkan pro dan kontra, program KB dinilai berhasil dengan menekan angka kelahiran sampai mencapai 2,6 pada tahun 2005. Namun, angka ini masih dinilai kurang ideal menurut PBB karena yang diharapkan mencapai 2,1. Itu sebabnya, PBB sampai menyerukan zero tolerance untuk program KB ini. Padahal di negara-negara maju sendiri, program ini telah ditinggalkan. Mengapa?

Ironi Pembatasan Natalitas
Dampak rekayasa demografi yang dicetuskan Maltus sejak tahun 1920-an sungguh membahayakan. Teori usang itu melahirkan problem-problem sosial akibat rendahnya angka natalitas dan makin tingginya penduduk usia tua. Pembatasan kelahiran, dalam jangka panjang dibayar mahal dengan semakin minimnya generasi produktif dan semakin menuanya usia penduduk. Hal ini jelas membahayakan bagi eksistensi negara dan peradaban tersebut.
Negara-negara di Eropa dan bahkan sebagian Asia, kini mengalami ancaman loss generation akibat rekayasa demografi. Program pembatasan kelahiran di Tiongkok misalnya, harus dibayar mahal dengan krisis generasi. Pasangan suami-istri di sana hanya boleh memiliki satu anak. Dampaknya, aborsi terhadap janin perempuan pun meningkat karena pasangan suami-istri lebih memilih anak laki-laki. Sebuah tradisi jahiliyah yang terulang di era modern ini. Ironis.
Sementara itu, angka kelahiran di Eropa terus merosot. Spanyol misalnya, salah satu negeri yang terancam ‘punah’. Tingkat kelahiran bayi termasuk yang paling rendah di dunia. Rata-rata angka kelahiran perempuan Spanyol adalah 1,12. Kekhawatiran yang sama juga terjadi di Italia dan Jerman (Dw.org/03.02.2005).
Juga di Korea Selatan, dimana tahun 2004 natalitasnya tercatat 1,16, merupakan rekor terendah di negara tersebut. Menurut badan statistik nasional Korsel (NSO) angka tersebut turun dari 1,19 yang tercatat pada tahun 2003. Angka itu lebih rendah dari yang dicatat Jepang sebesar 1,288, dan jauh lebih rendah dari negara-negara Eropa dan Amerika Serikat yang sebesar 2,04.
Ada penurunan tajam jumlah wanita yang melahirkan pada usia antara 25-29, karena mereka lebih memilih melahirkan setelah usia 30-an. Meski pemerintah Korsel telah memberikan subsidi guna mendongkrak angka kelahiran, tapi banyak kalangan muda Korsel menganggap memiliki anak merupakan beban terhadap keuangan mereka, selain mempengaruhi gaya hidup dan karir.

Pentingnya Regenerasi
Tanpa bermaksud menentang, ada baiknya dipikirkan kembali upaya pembatasan kelahiran ini agar tidak menuai badai dalam jangka panjang. Pasalnya, secara global rekayasa kependudukan telah menimbulkan malapetaka loss generation. Terlebih, proses regenerasi adalah faktor terpenting bagi eksistensi sebuah keluarga, suku, komunitas, negara dan bahkan sebuah peradaban. Jika proses regenerasi terhenti, yang terjadi adalah hilangnya sebuah keluarga, suku, negara dan bahkan peradaban itu. Mustinya kita belajar dari Barat yang telah menuai akibatnya secara fatal.(*)

Jurnalis, penulis buku-buku Islam. 

Menyikapi Ritual Bencana




Oleh Asri Supatmiati, S.Si


Lengkap sudah penderitaan rakyat di Republik ini. Ragam bencana melanda, paling komplit di dunia. Setelah dihantam gelombang tsunami, digoyang gempa, dihembus asap dan disembur lumpur panas, kini diterjang banjir. Tidak tanggung-tanggung, giliran jantung ibu pertiwi kedatangan tamu tak diundang itu. Hujan selama sepekan di hampir seluruh wilayah Jabodetabek, tiba-tiba menenggalamkan Jakarta dan sekitarnya. Memang, banjir bukan bencana baru bagi ibukota, karena sudah menjadi ritual setiap musim penghujan tiba. Hanya, tahun ini lebih parah dibanding banjir terbesar tahun 2002 lalu. Status ibukota siaga 1.
Ironisnya dan seperti biasa, semua pihak saling tuding. Orang Jakarta serta merta menuduh banjir sebagai “kiriman dari Bogor”. Bogor sebagai daerah penyangga ibukota dianggap bertanggung jawab atas terjadinya luapan air bah. Lubernya Sungai Ciliwung yang membelah Jakarta, dituduh akibat penggundulan daerah resapan air di kawasan Bogor. Sebaliknya, warga Bogor yang tak mau terima dituduh sebagai penyebab banjir, serta merta menyalahkan orang Jakarta. Bukankah daerah Puncak sebagai wilayah resapan air habis dibabat untuk vila-vila yang kebanyakan dimiliki warga Jakarta?
Lalu, pejabat menyalahkan rakyatnya karena dianggap tak ramah lingkungan. Seperti kebiasaan membangun rumah di bantaran sungai dan membuang sampah sembarangan. Sebaliknya, rakyat menyalahkan pejabat karena dianggap tak mampu mengentaskan kemiskinan sehingga mereka terpaksa hidup di bantaran sungai, juga tak becus membangun tata ruang kota yang bebas banjir.


PENYEBAB BENCANA
Bencana ada yang disebabkan oleh dua faktor. Pertama, faktor alam yang memang sudah merupakan ketentuan (qodho) Allah. Seperti tsunami, gempa, angin puting beliung atau gunung meletus dan lain-lain yang tidak ada andil manusia di dalamnya. Sehebat apapun manusia dan kecanggih apapun teknologi, tidak mampu menghadang rencana Allah atas datangnya bencana semacam ini. Di sini tidak ada kontribusi manusia dalam mendatangkan bencana. Karena itu, sikap yang harus kita tunjukkan adalah bersabar dan bertawakal menghadapinya.
Penyebab kedua, karena faktor ulah manusia. Mental sebagian masyarakat yang tidak ramah lingkungan akan membuahkan bencana. Seperti kebiasaan membuang sampah di got, selokan, sungai, dll. Karena itu perlu pendekatan multidisipliner dan berwawasan lingkungan terhadap masyarakat. Perilaku kurang ramah lingkungan harus dibuang.
Sementara itu, longgarnya peraturan dalam pembangunan turut memberi kontribusi atas dampak negatif yang ditimbulkan. Seperti dibiarkannya pembalakan liar, penambangan pasir ilegal, pemberian izin mendirikan bangunan di daerah resapan air, pembakaran hutan, dll telah mendatangkan bencana banjir, longsor dan lain-lain. Belum lagi penataan kota yang kurang memperhatikan drainase, menambah parah masalah. Ditambah lemahnya hukum bagi pelaku perusakan lingkungan, membuat kerusakan semakin merajalela. Jadi jangan salahkan alam jika bencana melanda.


UPAYA SOLUSI
Untuk mengatasi banjir, Presiden SBY dalam rapat terbatas di kantor Kementerian Perumahan Rakyat dua hari lalu memutuskan beberapa langkah untuk mengantisipasi. Diantaranya pembangunan rumah susun perkotaan dengan anggaran Rp 50 triliun. Kemudian mempercepat tiga RUU untuk mengatasi banjir. Tiga RUU adalah RUU Pemerintahan Ibu Kota, RUU Bencana Alam, dan RUU Tata Ruang. Selain itu juga pembangunan banjir kanal timur, normalisasi daerah aliran sungai dan menata daerah resapan air di kawasan Puncak (Radar Bogor, 8/2/07).
Wacana pemindahan ibukota juga turut meramaikan opini. Semua itu sah-sah saja, asalkan berdasar kajian dan pemikiran yang mendalam. Dan yang penting, upaya antisipasi itu terealisasi demi kepentingan masa depan rakyat. Bukan sekadar bagi-bagi proyek kalangan elite.
Karena itu, perencana itu harus diawasi oleh seluruh lapisan masyarakat. Jangan sampai ketika banjir menyusut, semangat untuk mengantisipasi banjir turut menyusut. Sebab seperti yang sudah-sudah, janji-janji untuk mengantisipasi banjir sebatas lips service. Buktinya, janji menata kawasan Puncak hanya isapan jempol. Sampai kini vila masih bertumbuhan di sana. Pembangunan banjir kanal timur, juga terbengkalai dengan berbagai alasan. Banyak yang menilai, meski berhubungan dengan banjir, proyek ini ”kurang basah” sehingga tidak diminati.
KERDILNYA MANUSIA
Satu hal yang tak kalah penting dalam mencegah bencana adalah mengingat kembali kepada Sang Pencipta. Sebab, secanggih apapun upaya mengantisipasi bencana, jika tidak dilandasai semangat keimanan maka tidak akan efektif.
Bencana sejatinya sebuah peringatan akan betapa kerdilnya manusia. Sementara di sisi lain, sering manusia durhaka kepada Sang Pencipta yang telah menciptakan dirinya, menciptakan alam dan menciptakan bencana. Manusia lupa Sang Pencipta ketika senang. Ironisnya, ketika bencana menghampiri, ada dua kelompok manusia dalam mensikapi.
Pertama, kelompok yang putus asa dan apatis. Banyak korban bencana stres karena harta benda yang dikumpulkannya bertahun-tahun tiba-tiba lenyap. Sebagian lagi –ironisnya termasuk aparat atau pemerintah-- meminta bantuan klenik, tenaga magis dan paranormal untuk menyelesaikan bencana. Seperti ketika Adam Air tiba-tiba lenyap, sampai mencari lokasi korban longsor di Bogor. Jelas, perbuatan yang termasuk menyekutukan Allah ini semakin menunjukkan kedurhakaan manusia terhadap Sang Pencipta. Sudah diberi bencana, masih juga berani melawan Sang Pencipta. Mestinya sikap seperti ini segera ditinggalkan.
Kelompok kedua, mereka yang segera ingat kepada Sang Pencipta. Bibirnya langsung mengucapkan puji-pujian kepada Sang Pencipta. Itu menunjukkan bahwa manusia tak bisa lepas dari Sang Pencipta. Karena itu wajar jika Ustad Jefry Al-Buchori dalam kunjungannya ke korban banjir mengingatkan masyarakat agar segera berdoa dan bertobat memohon pertolongan kepadanya.
Namun tak cukup dengan doa, manusia harus kembali kepada aturan Allah SWT. Bencana menunjukkan kekerdilan manusia, termasuk lemahnya manusia dalam merekayasa sebuah peraturan hidup. Karena itu, tidakkah kita sadar untuk kembali kepada peraturan buatan Allah SWT dalam segala aspek kehidupan?
Sesungguhnya, bencana merupakan peringatan kepada kita, manusia, yang semakin lama semakin jauh dari aturan-Nya. Padahal Allah SWT telah menurunkan aturan yang lengkap baik di bidang ekonomi, politik, sosial, pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Hanya saja, manusia Indonesia masih saja mempertahankan sistem peninggalan Belanda atau sistem sekulerisme-kapitalis hasil impor dari Amerika Serikat dan sekutunya. Jangan heran bila bencana tak akan beranjak dari Republik banjir ini jika penduduknya masih juga durhaka kepada Sang Pencipta.(*)
Asri Supatmiati, S.Si, penggagas AlPen Prosa, sebuah komunitas penulis lepas.