Program Desa Siaga, Tantangan dan Peluang




Oleh Asri Supatmiati

Desain Program
Pemerintah mencanangkan Visi Indonesia Sehat 2010, dimana indikatornya adalah (1) Meningkatnya umur harapan hidup dari 66,2 tahun menjadi 70,6 tahun; (2) menurunnya angka kematian bayi (AKB) dari 35 menjadi 26 per 1.000 kelahiran hidup; (3) Menurunnya angka kematian ibu (AKI) dari 307 menjadi 226 per 100.000 kelahiran hidup dan (4) Menurunnya prevalensi gizi kurang pada balita dari 25,8 persen menjadi 20 persen.
Untuk mencapai visi tersebut, salah satu program yang saat ini sedang gencar diimplementasikan adalah program Desa Siaga (Siap Antar Jaga). Program ini tertuang dalam Kepmenkes No 564/MENKES/SK/VIII/2006. Desa Siaga dicanangkan pada peringatan Hari Kesehatan Nasional (HKN) ke 42, tanggal 12 November 2006, dengan mengusung tema 'Melalui Desa Siaga Rakyat Sehat'.
Desa Siaga adalah desa yang memiliki kesiapan sumber daya dan kemampuan untuk mencegah dan mengatasi masalah-masalah kesehatan (bencana dan kegawatdaruratan kesehatan secara mandiri). Adapun yang dimaksud ‘desa’ adalah kesatuan pemerintahan administratif terkecil yang biasa disebut desa, kelurahan, nagari dan lain-lain yang sepadan.
Tujuan umum program Desa Siaga adalah terwujudnya desa dengan masyarakat yang sehat, peduli dan tanggap terhadap masalah-masalah kesehatan (bencana dan kegawatdaruratan kesehatan) di desanya. Adapun tujuan khususnya adalah:
  1. Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat desa tentang pentingnya kesehatan dan melaksanakan PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat).
  2. Meningkatnya kemampuan dan kemauan masyarakat desa untuk menolong dirinya sendiri di bidang kesehatan.
  3. Meningkatnya kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat desa terhadap risiko dan bahaya yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan (bencana, wabah penyakit, dsb).
  4. Meningkatnya kesehatan di lingkungan di desa.
Sasaran pengembangan Desa Siaga adalah:
  1. Semua individu dan keluarga di desa, yang diharapkan mampu melaksanakan hidup sehat, peduli dan tanggap terhadap permasalahan kesehatan di wilayah desanya.
  2. Pihak-pihak yang mempunyai pengaruh terhadap perilaku individu dan keluarga di desa atau dapat menciptakan iklim yang kondusif bagi perubahan perilaku tersebut, yaitu tokoh-tokoh pemerintahan/masyarakat/agama/perempuan/pemuda, PKK, karang taruna, media massa, dll.
  3. Pihak-pihak yang diharapkan memberikan dukungan kebijakan, peraturan per-UU-an, dana, tenaga, sarana, dll, yaitu kepala desa, camat, pejabat pemerintah lainnya, dunia usaha, donatur dan stakeholders lain.
Adapun strategi yang diterapkan dalam program Desa Siaga adalah dengan mengedepankan peran Pos Kesehatan Desa (Poskesdes). Disebut Desa Siaga jika desa tersebut telah memiliki minimal satu Poskesdes. Dalam strukturnya, Poskesdes berada di bawah Puskesmas yang bertindak sebagai pelaksana pengembangan atau revitalisasi Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM)sekaligus sebagai koordinator UKBM-UKBM. Sedangkan Poskesdes membawahi posyandu-posyandu yang biasanya ada di tiap RW, lumbung pangan (jika ada), warung obat, Polindes (Pondok Bersalin Desa), Posbindu (Pos Pembinaan Terpadu), dll. (Puskesmas Poskesdes Posyandu, Warung Obat Desa, Polindes, Posbindu, dll).
Berbagai upaya pelayanan kesehatan berupa promotif, preventif dan kuratif dapat dilaksanakan oleh para kader Poskesdes. Selain pemberian pelayanan kesehatan dasar, Poskesdes juga akan melakukan promosi kesehatan, terutama bagi peningkatan keluarga sadar gizi (Kadarzi), peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat, serta penyehatan lingkungan.
Poskesdes didirikan sebagai satu Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang melaksanakan kegiatan-kegiatan minimal:
  1. Pengamatan epidemiologis penyakit menular dan yang berpotensi menjadi KLB serta faktor-faktor risikonya.
  2. Penanggulangan penyakit menular yang berpotensi menjadi KLB serta kekurangan gizi
  3. Kesiapsiagaan dan penanggulangan bencana dan kegawatdaruratan kesehatan
  4. Pelayanan kesehatan dasar, sesuai dengan kompetensinya.
Ujung tombak pelaksana program ini adalah bidan dan kader. Sehingga, satu Poskesdes minimal harus ada satu orang bidan dan dua orang kader, fisik bangunan, perlengkapan dan peralatan, alat komunikasi ke masyarakat dan ke Puskesmas.
Langkah-langkah pengembangan Desa Siaga:

Langkah I
Langkah II
Langkah III
Pusat:penyusunan pedoman dan juknis, pembuatan modul pelatihan, pelatihan pelatih (tenaga profesional).
Provinsi:pelatihan pelatih (tenaga kabupaten/kota).
Kabupaten/kota:pelatihan tenaga kesehatan dan kader.
Pusat:penyediaan dana dan dukungan sumberdaya lain. Provinsi: penyediaan dana dan dukungan sumberdaya lain. Kabupaten/kota: penyediaan dana dan dukungan sumberdaya lain serta penyiapan Puskesmas dan RS untuk penanggulangan bencana dan kegawatdaruratan kesehatan.
Kecamatan:pengembangan dan pembinaan Desa Siaga.

Pusat:memantau dan mengevaluasi
Provinsi:memantau dan melaporkan perkembangan ke pusat
Kabupaten/kota:memantau dan melaporkan perkembangan ke provinsi
Kecamatan:melakukan pemantauan wilayah setempat (PWS) dan melaporkan perkembangan ke kabupaten/kota.


Indikator keberhasilan Desa Siaga antara lain adalah menurunnya jumlah penduduk yang sakit, yang terganggu jiwa, menurunnya angka kematian ibu melahirkan (AKI), menurunnya angka kematian bayi dan balita (AKB), menurunnya jumlah balita gizi buruk, dll. 

Target Program
Untuk tahap pertama tahun 2006, Departemen Kesehatan mencanangkan sebanyak 12 ribu Desa Siaga (www.depkes.go.id). Ada 12 provinsi yang siap mengembangkan Desa Siaga. Jawa Timur 5.000 desa, Jawa Tengah 4.300 desa dan Jawa Barat 1.000 desa. Tahun 2007 akan dikembangkan menjadi 30 ribu desa dan tahun 2008 seluruh desa di Indonesia sebanyak 70.000, sudah menjadi Desa Siaga.
Untuk tahun 2006, pemerintah pusat telah menyiapkan anggaran sebesar Rp 18,8 miliar untuk 12 ribu Desa Siaga ini. Antara lain bagi penyediaan peralatan, pelatihan serta penyiapan sumber daya. Diharapkan, pemerintah daerah turut menyukseskan program ini dengan memberi kontribusi dalam kegiatan operasional rutin Poskesdes.
Depkes sejak 2006 sudah melatih 34.890 bidan yang akan menjadi ujung tombak program tersebut. Para bidan itu dilatih bukan saja tentang pelayanan kesehatan, melainkan juga untuk memotivasi warga agar bisa mandiri menjaga kesehatan dan tanggap terhadap bencana.
Untuk program tersebut, para bidan dan kader diberi insentif masing-masing Rp 100 ribu per bulan. Insentif itu bisa saja berbeda sesuai kondisi daerahnya dan kontribusi daerah tersebut dalam menyukseskan program ini.
Dengan program Desa Siaga, diharapkan masyarakat desa memiliki kebiasaan untuk hidup sehat dan mandiri dalam mengantisipasi dan mengatasi persoalan-persoalan kesehatan yang muncul di tengah-tengah mereka.

Analisa
Sekilas, konsep Desa Siaga memang bagus dan tidak ada masalah, karena bisa mendorong masyarakat untuk memiliki perilaku hidup bersih dan sehat, serta memahami tata cara penanggulangan kesehatan secara swadaya. Namun bila ditelaah lebih jauh, ada beberapa hal yang menjadi catatan dan perlu diwaspadai, khususnya dalam implementasi program Desa Siaga tersebut.
Pertama, perlu dicermati konten dari program penyuluhan kesehatan, baik yang disosialisasikan kepada para bidan dan kader, maupun kepada masyarakat umum. Bisa dipastikan, bahwa paradigma yang diadopsi adalah paradigma sekular-kapitalisme. Muatan materi Kespro berbasis sekular-kapitalis dikhawatirkan lebih menonjol, ketimbang upaya edukasi kepada masyarakat mengenai pola hidup sehat. Pasalnya, indikator utama Desa Siaga seperti diuraikan di atas, salah satunya adalah upaya penurunan AKI.
Paradigma mengenai upaya menekan AKI, selalu terkait dengan propaganda Kesehatan Reproduksi (Kespro) dan Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR). Muatan materinya tidak jauh-jauh dari kampanye aborsi yang aman dan penggunaan alat kontrasepsi/kondomisasi.
Demikian pula upaya penanggulangan penyakit menular, salah satunya adalah penanggulangan penyebaran HIV/Aids. Paradigma sekular-kapitalis menghendaki penghilangan stigmatisasi terhadap ODHA (Orang Dengan HIV/Aids). Caranya, dengan mengopinikan bahwa berinteraksi dengan ODHA tidak bahaya, penghapusan diskriminasi terhadap penderita ODHA, legalisasi jarum suntik, substitusi narkoba dengan metadon, dll.
Departemen Kesehatan, melalui Visi Indonesia Sehat 2010, menargetkan 200 rumah sakit siap melayani perawatan dan pengobatan bagi penderita ODHA. Yang membahayakan, pasien HIV/Aids dibaurkan dengan pasien penyakit umum, dimana dalam konteks Islam seharusnya mereka dikarantina untuk mencegah penularan.
Kedua,perlu diwaspadai bahaya program-program layanan kesehatan yang diberikan untuk masyarakat. Misalnya obat-obatan untuk masyarakat, khususnya keluarga miskin yang biasanya gratis, apakah tidak berbahaya? Mungkin tidak jangka pendek, tapi jangka panjang. Demikian pula masuknya program imunisasi nasional dengan vaksin yang aneh-aneh, alat kontraspesi gratis, tubektomi/vasektomi cuma-cuma, dll. 
Seperti diketahui, ada beberapa vaksin yang masih kontroversi karena dalam jangka panjang dapat merusak intelegensia anak di masa mendatang. Alat kontrasepsi pun, dicurigai tak hanya menjarangkan angka kehamilan, namun memandulkan pasangan usia subur sehingga meredam proses reproduksi dan regenerasi, khususnya di kalangan umat Islam.
Ketiga, masalah pendanaan. Dalam konsepnya, memang pemerintah melalui Depkes telah menganggarkan dana khusus untuk program ini. Tak hanya pemerintah pusat, bahkan pemerintah daerah pun dituntut untuk berkontribusi bagi pengembangan Desa Siaga. Namun dalam implementasi di lapangan, dana yang diberikan seringkali tidak mencukupi sehingga Poskesdes harus melakukan swadaya untuk membiayai aktivitasnya. Otomatis, hal ini dibebankan kepada masyarakat sehingga ada upaya dari pemerintah untuk berlepas tangan dalam menjamin kesehatan rakyatnya dengan dalih kemandirian.
Di sisi lain, program ini tidak menutup kemungkinan untuk menerima donatur yang notabene tidak dibatasi, apakah dari dalam negeri atau luar negeri. Dengan demikian sangat mungkin ada intervensi dalam implementasi program Desa Siaga oleh pihak-pihak yang berkepentingan melalui donasi yang dikucurkan. Seperti World Bank, ADB atau foundation-foundation asing lainnya.
Contohnya di Papua, proyek Nabire Healt and Disaster Management, merupakan kontribusi AUSAID, dengan dana 4,15 juta dolar AS (dari anggaran dan donatur). Proyek ini untuk mencapai target turunnya angka kematian dan kesakitan pada wanita usia produktif dan anak-anak balita di beberapa kecamatan terpilih di Nabire. Implementasinya, melalui mobilisasi dan penguatan kapasitas masyarakat lokal di tiga bidang: suplai air bersih dan sanitasi, pengelolaan resiko bencana berbasis masyarakat dan kesehatan ibu dan anak. Dalam proyek ini dikenalkan konsep Desa Siaga di 8 desa melalui pelatihan kepada 27 fasilitator desa dan 8 paramedik atau bidan.
Keempat, pelaksana di lapangan, dalam konsepnya adalah bidan dan kader sebagai ujung tombak. Namun dalam implementasinya banyak melibatkan lembaga internasional atau LSM-LSM lokal yang berafiliasi dengan NGO asing. Misalnya dalam rangka mempercepat penurunan angka kematian ibu dan angka kematian bayi, Depkes telah mengembangkan program Making Pregnancy Safer (MPS) bersama WHO.
Disamping MPS, telah dilakukan berbagai upaya untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu dan anak, baik oleh pemerintah melalui program kesehatan reproduksi (Depkes), program Gerakan Sayang Ibu (GSI) ataupun dengan bantuan lembaga donor, seperti oleh JICA, USAID, AUSAID, Bank Dunia (SMPFA) dan UNICEF.
Keterlibatan LSM ini diakui oleh Depkes. Bahkan, Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Sri Astuti S Suparmanto dalam satu kesempatan menyatakan terima kasihnya kepada LSM-LSM yang mendampingi program Desa Siaga, karena tangan-tangan Depkes diakui tak mampu menjangkau seluruh wilayah (www.Kompas.com, 7/10/06).
Kelima, jaringan Desa Siaga memudahkan pihak-pihak yang berkepentingan untuk mendapatkan data-data konkret di lapangan mengenai kondisi kesehatan masyarakat. Misalnya data tentang jumlah AKI, AKB, penderita HIV/Aids, dll. Hal ini rawan dimanfaatkan sebagai referensi dalam pengambilan kebijakan. Sebab, biasanya para propagandis sekular-kapitalisme selalu bermain dengan data-data ilmiah untuk memblow-up opini mereka, sekalipun data-data tersebut bisa saja dengan mudah dipermainkan.
Berkedok membantu program Desa Siaga, banyak LSM-LSM yang bergerak melakukan penelitian atau survey langsung ke masyarakat di berbagai desa. Misalnya mereka mendata sikap dan perilaku masyarakat terhadap problem-problem kesehatan, yang nantinya akan dilaporkan kepada para penyandang dana LSM-LSM tersebut. Hal ini jelas membahayakan.

Tantangan dan Peluang
Terbentuknya Desa Siaga menambah kuat cengkeraman ideologi kapitalisme, khususnya mengenai paradigma kesehatan. Dengan Desa Siaga, para pengemban ideologi kapitalisme ini semakin mudah masuk ke pelosok-pelosok melalui tangan-tangan LSM atau lembaga-lembaga sejenis untuk melakukan intervensi dalam pemerintahan desa, khususnya menyangkut problem kesehatan masyarakat.
Apalagi hal ini dijamin melalui paradigma otonomi daerah, dimana melalui Otda, daerah semakin mudah menjalin hubungan bilateral dengan asing. Konsep kemandirian daerah, yang disusul kemandirian desa, sejak awal memang dirancang untuk mengkerat-kerat wilayah nusantara menjadi kepingan-kepingan yang semakin mudah untuk dirasuki. Melalui Otda, maka sangat mudah bagi asing untuk memecahbelah kaum muslimin. Politik belah bambu ini sudah menjadi trade mark imperialis sekular-kapitalisme sejak zaman penjajahan fisik terdahulu.
Kondisi ini semakin menjadi tantangan berat bagi pengemban ideologi Islam dalam upaya memahamkan masyarakat dengan syariat Islam. Upaya untuk menyatukan kaum muslimin juga semakin besar tantangannya, karena di era kemandirian daerah, semangat primordialisme semakin mengental.
Meski demikian, pembentukan Desa Siaga sebenarnya bisa menjadi peluang bagi syarikah, yakni dengan memanfaatkan jaringan yang ada untuk mensosialisasikan gagasan-gagasan Islam. Misalnya dengan melakukan penyuluhan untuk mensosialisasikan masalah penanggulangan penyakit menular seksual (PMS) termasuk HIV/Aids dalam konteks Islam, membongkar bahaya gagasan-gagasan kesehatan reproduksi dan KRR yang diusung Barat, dll.
Selain itu, bila secara jaringan tidak bisa dilakukan, bisa dengan kontak personal dengan para bidan atau kader Poskesdes untuk memahami konsep Islam dalam pelayanan kesehatan, sehingga mereka memiliki standar Islam dalam setiap aktivitasnya.
Karena itu, di sinilah tantangan sekaligus peluang bagi para pengemban dakwah untuk saling adu pengaruh dengan para propagandis sekular-liberal, dalam upaya mensosialisasikan pemahaman Islam. Wallahu’alam bi shawab.(*)

Penulis adalah jurnalis, penulis buku-buku Islam. Bahan diskusi 25 Agustus 2007. 

Desa Plaosan, Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Foto by Tsabita (12).
 

No comments: