Poligami dan Rekayasa Demografi



Oleh Kholda Naajiyah

Kata poligami tiba-tiba membahana di bumi persada ini. Pro-kontra, itu sudah pasti. Perang opini sampai debat kusir pun mewarnai. Ada yang mengernyitkan dahi, ada yang gemas, ada pula yang kebakaran jenggot. Pokoknya, luar biasa heboh!
Tulisan ini mudah-mudahan tidak memperuncing ranah pro-kontra. Tulisan ini bukan pula bermaksud hendak memperdebatkan hukum poligami yang sudah banyak dijelaskan para kyai berkompeten. Namun, sekadar ingin memperlihatkan sudut pandang lain dalam melihat polemik soal poligami.

Rekayasa Kependudukan
Tahun 1994 digelar International Conference on Population and Development (ICPD) di Kairo 1994. Dari forum ini dihembuskanlah visi 20 tahun (program aksi) untuk membina keluarga berencana nasional dan internasional, kesehatan reproduksi, pencegahan HIV/AIDS, pemberdayaan perempuan dan upaya-upaya pembangunan terkait lainnya. Program kerja ICPD diantaranya menjelaskan kerangka bagi tercapainya status kesehatan reproduksi yang lebih baik. Konferensi yang baru pertama digelar tersebut dihadiri 10 ribu perwakilan masyarakat sipil dunia dari 179 negara, termasuk Indonesia.
Berdasar acuan tersebut, program Keluarga Berencana (KB) kembali digalakkan untuk menekan angka kelahiran. Indonesia dinilai belum ideal alias masih lebih tinggi dibanding angka kelahiran di Eropa/Barat. Sejak dilaksanakan tahun 1970-an, angka kelahiran masih mencapai 2,6 anak per wanita, belum mencapai angka ideal, yaitu 2,1 anak per wanita. Untuk mencapai angka kelahiran ideal, jumlah akseptor keluarga berencana (KB) perlu ditingkatkan 1 persen setiap tahun agar terjadi keseimbangan jumlah penduduk (Suara Pembaharuan, 24/3/2005)
Lalu apa hubungannya program KB dengan poligami? Inilah penjelasannya. Praktik poligami memberi peluang sangat besar bagi adanya proses regenerasi manusia dengan sangat cepat. Bayangkan, jika satu suami memiliki empat istri dan masing-masing memiliki dua anak saja (seperti yang dkehendaki program KB), berarti telah lahir delapan generasi. Apalagi jika tanpa KB, anak yang dilahirkan bisa dalam jumlah sangat banyak sekaligus. Jika semakin banyak wanita yang rela dimadu dan melahirkan anak-anak dari suaminya, maka pertumbuhan penduduk akan semakin cepat.
Lihat saja, di negeri-negeri Islam, banyak laki-laki yang memiliki anak 20 hingga 40 karena dilahirkan dari empat orang istrinya. Di Afghanistan, Palestina, Iran dan bahkan di Malaysia, hal itu bukanlah hal yang aneh. Bagi mereka, apa yang dilakukan itu adalah mengikuti sunnah Rasulullah Saw yang bangga akan banyaknya jumlah umat muslim.
Anehnya, kendati punya anak banyak dan tinggal di negeri konflik, mereka bisa tetap hidup. Tentu hal ini karena keyakinan bahwa rezeki sudah diatur oleh Allah sehingga tak perlu takut kekurangan meski punya anak banyak. Asumsi bahwa banyaknya anak akan mengurangi kualitas hidup, gugur dengan realitas ini.
Mungkin itu pula rahasia mengapa umat Islam di negeri-negeri konflik tak pernah habis. Lihat saja, Palestina dengan penduduk pada 2002 sebesar 4,9 juta jiwa, hanya kalah sedikit dibanding jumlah penduduk Yahudi sekitar 5,1 juta jiwa. Padahal, sejak tanah kelahirannya dirampas tahun 1948, telah jutaan nyawa warga Palestina melayang.
Mengapa Israel tak pernah bisa menghabisi penduduk Palestina? Seperti pepatah mati satu tumbuh seribu, hal itu dikarenakan regenerasi di Palestina berlangsung cepat. Janda-janda korban perang, dinikahi para mujahidin lain hingga melahirkan banyak keturunan sebagai calon pewaris perjuangan.
Tak heran bila Kantor Pusat Data dan Statistik Palestina memprediksikan, pada tahun 2010, orang-orang Palestina akan menjadi mayoritas di seluruh tanah historis Palestina, yang meliputi wilayah Jalur Gaza, Tepi Barat dan Palestina (wilayah Palestina yang dirampas penjajah Israel sejak tahun 1948).
Diprediksi, jumlah penduduk Palestina akan mengalahkan Israel sebentar lagi. Pada 2010 jumlah penduduk diperkirakan meningkat hingga 6,2 juta jiwa dan pada 2020 mencapai 8,2 juta jiwa. Sementara jumlah warga Yahudi diperkirakan hanya sekitar 5,7 juta orang pada 2010 dan 6,4 juta jiwa pada 2020. Perbandingan demografi ini sangat mengkhawatirkan Zionis. Merekapun ramai-ramai memberi hadiah kepada kaum wanita Israel yang mau melahirkan anak banyak.
Ancaman Loss Generation
Kondisi yang dialami Israel juga terjadi di negeri-negeri sekular Barat. Dunia Barat sedang mengalami deficit generasi akibat sistem hidup sekularis-kapitalisme yang diterapkannya. Angka kelahiran sangat rendah, disebabkan keengganan para wanita untuk menikah dan memiliki anak. Di sisi lain generasi tua bertahan hidup lebih lama, karena meningkatnya kualitas hidup dan kesehatan. Karena itu, di sana para wanita didorong untuk menikah dan memiliki banyak anak. Jadi, program KB di sana malah tak berlaku. Karena itu sasaran tembah program KB adalah negara-negara dunia ketiga yang mayoritas muslim. Tujuan sebenarnya: menghentikan atau mengendalikan ledakan penduduk muslim.
Memang, program KB memang dikemas dengan tujuan yang seolah-olah mulia, yakni untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan keluarga. Logikanya, dengan semakin beratnya beban ekonomi saat ini, jumlah anak yang sedikit akan lebih terjamin kesejahteraannya dibanding anak banyak. Selain itu, wanita yang melahirkan sedikit anak akan lebih terjamin kesehatannya dibanding melahirkan banyak anak. Sebab risiko melahirkan sangat besar, bahkan nyawa taruhannya.
Argumen tersebut berangkat dari Teori Malthus yang dianggap sebagai bapak kependudukan oleh Barat. Teori tersebut mengatakan bahwa pertumbuhan pangan ibarat deret hitung, sementara pertumbuhan penduduk ibarat deret ukur. Artinya, pertumbuhan penduduk jauh lebih banyak dibanding pertumbuhan pangan. Sehingga, jika pertumbuhan penduduk tidak dikendalikan maka akan terjadi ledakan penduduk di mana jumlah pangan yang ada tidak akan mencukupi untuk seluruh umat manusia.
Teori menyesatkan tersebut telah melahirkan upaya untuk menekan angka kelahiran. Namun dampaknya sungguh membahayakan. Ditekannya pertumbuhan penduduk telah menimbulkan problem sosial akibat rendahnya angka fertilitas dan makin tingginya penduduk usia tua. Hampir di seluruh dunia mengalami penuaan dan terancam kekurangan SDM usia produktif karena rendahnya angka krlahiran generasi penerus.
Meski menurut perkiraan PBB jumlah penduduk dunia dalam dekade-dekade mendatang akan meningkat sampai lebih 9 miliar orang, di Eropa angka kelahiran menurun (Dw.org/03.02.2005). Demikian pula di negara-negara maju di Asia dan berbagai belahan dunia. Angka kelahiran Korea Selatan tahun 2004 tercatat sebesar 1,16, merupakan rekor terendah di negara tersebut. Menurut badan statistik nasional Korsel (NSO) angka tersebut turun dari 1,19 yang tercatat pada tahun 2003. Angka itu lebih rendah dari yang dicatat Jepang sebesar 1,288, dan jauh lebih rendah dari negara-negara Eropa dan Amerika Serikat yang sebesar 2,04.
Ada penurunan tajam jumlah wanita yang melahirkan pada usia antara 25-29, karena mereka lebih memilih melahirkan setelah usia 30-an. Meski pemerintah Korsel telah memberikan subsidi guna mendongkrak angka kelahiran, tapi banyak kalangan muda Korsel menganggap memiliki anak merupakan beban terhadap keuangan mereka, selain mempengaruhi gaya hidup dan karir. Kekhawatiran yang sama juga terjadi di Italia dan Jerman. (Media Indonesia, 24/8/2005)
Sementara di sisi lain, negeri Barat akhir-akhir ini diserbu imigran dari negeri-negeri Islam, khususnya Timur Tengah. Kaum imigran muslim ini menjadi suplier terbesar bagi tenaga kerja di sana. Tanpa keberadaan mereka, roda-roda perekonomian terancam. Kehadiran kaum imigran dengan ajaran Islamnya saja, sudah mengkhawatirkan Barat. Terlebih dengan banyaknya generasi yang mereka lahirkan di negeri mereka. Bukan tidak mungkin, 10, 20 atau 30 tahun ke depan, pemegang kendali perekonomian di Barat lama-lama akan jatuh ke tangan para imigran ini. Hal itu bisa terjadi jika proses regenerasi di Barat tidak menunjukkan perbaikan.
Ini bukan masalah remeh bagi Barat, melainkan ancaman besar. Karena itu direkayasalah program pengendalian ledakan penduduk yang sasarannya justru negara-negara dunia ketiga (baca: muslim). Bila kaum muslimin pun termakan rekayasa ini, maka ancaman kepunahan dan loss generation juga akan melanda negeri muslim terbesar ini.

Pentingnya Regenerasi
Proses regenerasi adalah faktor terpenting bagi eksistensi sebuah keluarga, suku, komunitas, negara dan bahkan sebuah peradaban. Jika proses regenerasi terhenti, yang terjadi adalah hilangnya sebuah keluarga, suku, negara dan bahkan peradaban itu.
Dalam skala keluarga, pasangan suami-istri pasti mengharapkan kehadiran anak kandung sebagai pewaris keluarga. Berbagai cara ditempuh untuk mendapatkan keturunan. Bayi tabung misalnya, menjadi salah satu solusi bagi pasangan yang dari segi medis, fisik dan hormonnya tidak bermasalah. Artinya, peluang memiliki anak ada.
Nah, poligami sering dijadikan solusi bagi lahirnya generasi ini. Hal itu terjadi dalam kasus istri pertama mandul, sakit permanen yang menutup peluang lahirnya keturunan atau usianya telah lanjut hingga tak memungkinkan memiliki anak. Dengan menikah lagi dan kemudian memiliki anak, “kelemahan” istri pertama yang tidak memiliki keturunan justru disempurnakan oleh istri berikutnya. Sebab, pada hakikatnya anak dari istri kedua ini adalah menjadi “anak” pula bagi istri pertama.
Dengan demikian, naluri keibuan istri pertama tetap bisa tersalurkan terhadap anak suaminya dari istri kedua. Keluarga itupun tidak terancam eksistensinya karena telah lahir keturunan di tengah-tengah mereka sebagai pewaris generasi. Itulah hakikat sebuah pernikahan, yakni untuk melestarikan keturunan, baik monogami maupun poligami. Jika dimaknai dengan benar, pernikahan bukan sekadar legalisasi pemenuhan kebutuhan biologis, tetapi lebih dari itu sebagai kawah candradimuka bagi lahirnya generasi.
Karena itu, Islam sangat memikirkan proses regenerasi ini dengan sudut pandang jauh ke depan. Pasalnya, pentingnya regenerasi bukan hanya demi eksistensi sebuah keluarga, namun juga demi eksistensi sebuah masyarakat muslim, negeri Islam dan bahkan eksistensi ajaran Islam itu sendiri. Maka, tak heran bila Rasulullah Saw mengajarkan agar umatnya memperbanyak keturunan, dan tentu salah satunya melalui pintu poligami. Juga, menganjurkan kepada kaum laki-laki untuk menikahi wanita-wanita yang subur. Semua itu demi berlangsungnya proses regenerasi.
Sementara itu, dalam skala negara, masalah regenerasi ini menjadi lebih penting lagi. Sebuah negara yang tidak memikirkan proses regenerasi bisa terancam punah. Spanyol misalnya, salah satu negeri yang terancam ‘punah’. Tingkat kelahiran bayi termasuk yang paling rendah di dunia. Rata-rata angka kelahiran perempuan Spanyol adalah 1,12. Jika dari waktu- ke waktu tidak ada bayi lahir di sana, maka dalam jangka panjang penduduk negeri itu akan habis. Peradaban Spanyol pun sudah dipastikan akan lenyap. Hal itu bukanlah sesuatu yang mustahil.

Agenda Konspirasi
Dengan demikian, adanya stigmatisasi buruk tentang poligami dan wacana pelarangannya adalah bagian dari agenda internasional untuk mencegah terjadinya proses regenerasi kaum muslimin. Agenda pelarangan poligami setali tiga uang dengan pertama, agenda pelarangan pernikahan dini dan pembatasan usia pernikahan, dengan asumsi membahayakan kesehatan reproduksi. Hal ini bisa dilihat dari UU Perlindungan Anak yang mendefinisikan anak adalah mereka yang berusia kurang dari 18 tahun dan orang tua wajib melarang pernikahan pada anak di bawah 18 tahun.
Kedua, pelarangan memiliki anak lebih dari dua (program KB), dengan jargon meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ketiga, pelarangan melahirkan bagi wanita di atas usia 34 tahun dengan dalih berrisiko tinggi dan mengganggu kesehatan reproduksi. Keempat, pelarangan istri untuk taat kepada suami (di tempat tidur) dengan dalih kekerasan dalam rumah tangga. Kelima, kebolehan melakukan aborsi dengan alasan hak perempuan dan kesehatan reproduksi atas kehamilan yang tidak diinginkan. Keenam, kebolehan melakukan seks bebas dengan dalih hak asasi manusia (hak seksual), terbukti dengan program kondomisasi.
Semua agenda tersebut berujung pada upaya mencegah atau setidaknya menghambat proses regenerasi umat Islam. Itulah agenda berbahaya yang sedang kita hadapi. Karena itu, bagi umat Islam, waspadalah terhadap kekuatan ideology secular-kapitalisme global yang dengan rapi, sistematis dan teragenda berencana menghancurkan umat Islam.(*)

Kholda Naajiyah S.Si, peminat masalah wanita, remaja dan anak-anak.

Mengkritisi Draft Amandemen UU Perkawinan


Oleh: Asri Supatmiati, S.Si
(Jurnalis, Penulis Artikel, Trainer)

Upaya amandemen UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 terus bergulir. Bermula dari mencuatnya rencana revisi Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1083 tentang poligami, lantas meluas kepada amandemen UU Perkawinan yang juga memuat pasal tentang poligami.
Aktor di balik wacana amandemen UU Perkawinan ini tak lain adalah para aktivis yang mengklaim sebagai pejuang hak perempuan. Ya, sudah lama mereka mengagas draft amandemen UU Perkawinan, namun belum menemukan batu loncatan untuk menggolkannya sebagai hukum positif. Nah, sepertinya polemik soal poligami yang tiba-tiba membahana di bumi persada ini, dijadikan pijakan sangat tepat untuk memperjuangkan amandemen UU Perkawinan. Lantas ada apa di balik kegigihan upaya mereka untuk mengamandemen UU Perkawinan ini?

Kritisi Draft Amandemen UUP
Kerangka amandemen UU Perkawinan telah lama disusun oleh para aktivis perempuan, pasca kegagalan mengusung Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLDKHI) yang dimotori Feminis Musdah Mulia. CLDKHI memang secara terang-terangan dan frontal menyerang Islam, karena itu langsung dianulir. Majelis Ulama Indonesia bahkan sempat mengeluarkan larangan untuk menyebarluaskan CLDKHI yang berbasis ideologi sekularisme-kapitalis itu.
Namun, para penggagas CLDKHI tak kurang akal. Mereka berupaya memasukkan substansi-substansi CLDKHI dalam peraturan perundang-undangan yang lain. Diantaranya berhasil digolkan menjadi hukum positif, seperti UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) yang berhasil memotivasi kaum perempuan untuk berani melawan suami dan berani bercerai; UU Perlindungan Anak (UU PA) yang meliberalkan anak-anak sejak dini dan menegasikan peran orang tua dalam mendidik anak; serta UU Kewarganegaraan yang semakin melegalkan pernikahan campuran beda agama (yang dalam agama tertentu (baca: Islam) dilarang) dan memudahkan pelegalan anak hasil perzinaan.
Nah, dalam hal pelarangan poligami sebagaimana dikehendaki CLDKHI, mereka membidik UU Perkawinan. Poligami ditentang habis-habisan dan diupayakan untuk dihapuskan sama sekali. Hal ini bisa dilihat dari draft amandemen UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 versi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik yang menghendaki dihapuskannya pasal 3, 4 dan 5 tentang poligami dalam UU Perkawinan.
Sederet argumen dikemukakan. Antara lain, poligami merupakan bentuk subordinasi dan diskriminasi terhadap perempuan, bentuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), poligami hanya untuk kepentingan biologis, menempatkan perempuan sebagai sex provider. Argumen-argumen yang seolah masuk akal, padahal sejatinya hanya dibangun berdasarkan asumsi dan justifikasi subjectif.
Selain pasal poligami, pasal 7 berbunyi “Perkawinan diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun” diganti dengan “Perkawinan hanya diizinkan jika kedua belah pihak berumur di atas 18 tahun”. Alasannya, pembedaan usia minimal pernikahan antara laki-laki dan perempuan adalah bias gender. Hal ini sejalan dengan UU Perlindungan Anak yang mendefinisikan anak adalah orang yang belum berusia 18 tahun.
Bila ditelaah, penetapan angka 18 tahun ini mengandung maksud, yakni untuk meninggikan usia pernikahan dengan harapan usia reproduksi perempuan akan semakin pendek. Bagaimana tidak, dengan kampanye 4T yang mereka gembar-gemborkan, maka peluang lahirnya generasi dari kaum wanita semakin sempit.
4T tersebut adalah (1) Tidak terlalu dini (maksudnya jangan nikah muda, dengan dalih mengganggu kesehatan reproduksi); (2) Tidak terlalu banyak (maksudnya dua anak cukup, selaras dengan program KB dengan dalih demi peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup); (3) Tidak terlalu dekat (maksudnya jarak kelahiran anak jangan terlalu dekat dengan dalih mengganggu kesehatan reproduksi); dan (4) Tidak terlalu tua (maksudnya, jangan melahirkan anak lebih dari usia 34 tahun, dengan dalih risiko tinggi).
Kampanye ini terkait dengan upaya menghentikan proses regenerasi. Siapa yang dibidik? Tentu saja kaum muslimin. Jumlah kaum muslimin yang banyak, menjadi ancaman bagi eksistensi ideologi sekular-kapitalis. Untuk itu, di negeri-negeri muslim perlu direkayasa upaya menekan proses regenerasi ini. Padahal di negeri-negeri Barat sendiri, penduduknya justru didorong untuk memiliki anak banyak karena saat ini di sana dilanda penuaan penduduk dan terancam loss generation.
Selain pasal di atas, pasal 11 berisi masa iddah bagi wanita bercerai, dikehendaki untuk diberlakukan juga bagi laki-laki. Aneh bin ajaib! Saking pengin samanya 50:50 dengan laki-laki, massa iddah yang dimaksudkan untuk mengetahui apakah mantan istri itu hamil atau tidak, diberlakukan pada laki-laki yang tak mungkin hamil.
Gebyah uyah (pukul rata) atas perjuangan menuju gender equality lebih jelas lagi dalam pasal 34. Pasal berisi pembagian peran antara suami dan istri itu, mereka obrak-abrik dengan menghendaki peran dan tanggungjawab yang sama antara suami dan istri. Dengan demikian, peran suami sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah bisa diambil-alih oleh istri. Demikian pula sebaliknya, peran istri sebagai pengatur rumah tangga harus pula dibebankan kepada suami.
Atas dasar ini, istri tidak boleh dilarang bekerja agar memiliki bargaining power sebagai pengambil kebijakan dalam rumah tangga, karena memiliki sumber penghasilan. Jika suami melarang istri bekerja, akan dikenai delik kekerasan versi UU PKDRT. Dengan demikian, relasi suami-istri benar-benar disamaratakan. Disinilah letak pintu masuk bagi kehancuran institusi keluarga.

Penghancur Keluarga
Draft amandemen UU Perkawinan versi Feminis yang nota bene derivat dari ideologi sekular-kapitalisme, jelas sangat berbahaya. Pertama, UU Perkawinan yang dibangun atas landasan Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) itu berupaya mereduksi ajaran Islam tentang pernikahan. Seperti penentangan atas poligami, perombakan hukum tentang massa iddah dalam kasus perceraian dan relasi yang mengatur hubungan suami dan istri.
Kedua, menggiring masyarakat menuju liberalisasi. Larangan menikah di bawah usia 18 tahun, sekalipun pelaku sudah matang secara fisik, mental dan ekonomi, sama saja dengan menggiring masyarakat untuk menuju pintu seks bebas.
Ketiga, menghancurkan institusi pernikahan dan keluarga. Penyamarataan peran antara suami dan istri, berpeluang besar menimbulkan konflik kepentingan yang berujung pada perceraian. Juga, melemahkan peran pendidikan anak dan kelahiran generasi-generasi berkualitas dari sebuah keluarga.
Di negeri-negeri Barat, dimana perempuannya mandiri secara ekonomi, justru meluas perceraian. Institusi keluarga tak lagi dihormati sebagai wadah terkecil tempat para stkaholders di dalamnya harus berbagi peran. Keluarga tercerai-berai dan anak-anak yang dilahirkan menjadi generasi bermasalah. Fakta seperti inilah yang dikehendaki oleh para penyokong aktivis perempuan, yakni para pengusung ideologi sekular Barat.

Khatimah
UU Perkawinan merupakan target paling strategis dalam upaya penghancuran keluarga-keluarga muslim. Inilah konspirasi keji yang direncanakan Barat yang tak ingin umat Islam di Indonesia masih berpegang teguh pada prinsip-prinsip Islam. Poligami, hanyalah salah satu senjata untuk menstigmatisasi ajaran Islam demi mulusnya rencana jahat mereka. Maka, yang harus dilakukan adalah menangkal amandemen UU Perkawinan ini dengan mengeksiskan syariat Islam ke dalam seluruh sendi kehidupan, termasuk dengan menguatkan institusi pernikahan.(*)


Penghancuran Keluarga melalui Amandemen UU Perkawinan


Oleh: Asri Supatmiati, S.Si

Siapa yang paling bahagia pasca pernikahan kedua Aa Gym? Anda pasti menduga Aa Gym sendiri dan Alfarini, istri keduanya. Tapi, sepertinya bukan. Memang, sebagai pengantin baru mustinya mereka menikmati masa-masa bulan madu penuh kebahagiaan. Namun, “tekanan” opini media massa atas poligami itu sendiri malah mengguncang keluarga tersebut. Mereka menjadi bulan-bulanan media, bahkan sampai menyeret perhatian Presiden SBY segala.
Lain halnya dengan Menteri Pemberdayaan Perempuan (Meneg PP) Meutia Hatta. Dengan wajah berseri-seri, beliau menjelaskan akan rencana revisi Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1083 tentang poligami bagi PNS. Nantinya, tak hanya PNS, aturan poligami akan diperketat dan diperluas bagi seluruh elemen masyarakat.
Di belakang Menneg PP, para aktivis yang mengklaim sebagai pejuang hak perempuan berbunga-bunga. Betapa tidak, upaya amandemen UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 yang juga memuat pasal tentang poligami seolah menemukan momennya. Amandemen UU Perkawinan yang telah lama digagas para aktivis yang mengklaim pembela hak perempuan, menemukan cahaya cerah. Minimal berpeluang besar untuk kembali dilirik, dengan harapan kemudian dibahas dan dapat digolkan. Dengan demikian, tampaknya para aktivis perempuan inilah yang mendapat berkah kebahagiaan atas poligami Aa Gym.

Kritisi Draft Amandemen UUP
Kerangka amandemen UU Perkawinan telah lama disusun oleh para aktivis perempuan, pasca kegagalan mengusung Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLDKHI) yang dimotori Feminis Musdah Mulia. CLDKHI memang secara terang-terangan dan frontal menyerang Islam, karena itu langsung dianulir. Majelis Ulama Indonesia bahkan sempat mengeluarkan larangan untuk menyebarluaskan CLDKHI yang berbasis ideologi sekularisme-kapitalis itu.
Namun, para penggagas CLDKHI tak kurang akal. Mereka berupaya memasukkan substansi-substansi CLDKHI dalam peraturan perundang-undangan yang lain. Diantaranya berhasil digolkan menjadi hukum positif, seperti UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) yang berhasil memotivasi kaum perempuan untuk berani melawan suami dan berani bercerai; UU Perlindungan Anak (UU PA) yang meliberalkan anak-anak sejak dini dan menegasikan peran orang tua dalam mendidik anak; serta UU Kewarganegaraan yang semakin melegalkan pernikahan campuran beda agama (yang dalam agama tertentu (baca: Islam) dilarang) dan memudahkan pelegalan anak hasil perzinaan.
Nah, dalam hal pelarangan poligami sebagaimana dikehendaki CLDKHI, mereka membidik UU Perkawinan. Poligami ditentang habis-habisan dan diupayakan untuk dihapuskan sama sekali. Hal ini bisa dilihat dari draft amandemen UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 versi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik yang menghendaki dihapuskannya pasal 3, 4 dan 5 tentang poligami dalam UU Perkawinan.
Sederet argumen dikemukakan. Antara lain, poligami merupakan bentuk subordinasi dan diskriminasi terhadap perempuan, bentuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), poligami hanya untuk kepentingan biologis, menempatkan perempuan sebagai sex provider. Argumen-argumen yang seolah masuk akal, padahal sejatinya hanya dibangun berdasarkan asumsi dan justifikasi subjectif.
Selain pasal poligami, pasal 7 berbunyi “Perkawinan diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun” diganti dengan “Perkawinan hanya diizinkan jika kedua belah pihak berumur di atas 18 tahun”. Alasannya, pembedaan usia minimal pernikahan antara laki-laki dan perempuan adalah bias gender. Hal ini sejalan dengan UU Perlindungan Anak yang mendefinisikan anak adalah orang yang belum berusia 18 tahun.
Bila ditelaah, penetapan angka 18 tahun ini mengandung maksud, yakni untuk meninggikan usia pernikahan dengan harapan usia reproduksi perempuan akan semakin pendek. Bagaimana tidak, dengan kampanye 4T yang mereka gembar-gemborkan, maka peluang lahirnya generasi dari kaum wanita semakin sempit.
4T tersebut adalah (1) Tidak terlalu dini (maksudnya jangan nikah muda, dengan dalih mengganggu kesehatan reproduksi); (2) Tidak terlalu banyak (maksudnya dua anak cukup, selaras dengan program KB dengan dalih demi peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup); (3) Tidak terlalu dekat (maksudnya jarak kelahiran anak jangan terlalu dekat dengan dalih mengganggu kesehatan reproduksi); dan (4) Tidak terlalu tua (maksudnya, jangan melahirkan anak lebih dari usia 34 tahun, dengan dalih risiko tinggi).
Kampanye ini terkait dengan upaya menghentikan proses regenerasi. Siapa yang dibidik? Tentu saja kaum muslimin. Jumlah kaum muslimin yang banyak, menjadi ancaman bagi eksistensi ideologi sekular-kapitalis. Untuk itu, di negeri-negeri muslim perlu direkayasa upaya menekan proses regenerasi ini. Padahal di negeri-negeri Barat sendiri, penduduknya justru didorong untuk memiliki anak banyak karena saat ini di sana dilanda penuaan penduduk dan terancam loss genetarion.
Selain pasal di atas, pasal 11 berisi masa iddah bagi wanita bercerai, dikehendaki untuk diberlakukan juga bagi laki-laki. Aneh bin ajaib! Saking pengin samanya 50:50 dengan laki-laki, massa iddah yang dimaksudkan untuk mengetahui apakah mantan istri itu hamil atau tidak, diberlakukan pada laki-laki yang tak mungkin hamil.
Gebyah uyah(pukul rata) atas perjuangan menuju gender equality lebih jelas lagi dalam pasal 34. Pasal berisi pembagian peran antara suami dan istri itu, mereka obrak-abrik dengan menghendaki peran dan tanggungjawab yang sama antara suami dan istri. Dengan demikian, peran suami sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah bisa diambil-alih oleh istri. Demikian pula sebaliknya, peran istri sebagai pengatur rumah tangga harus pula dibebankan kepada suami.
Atas dasar ini, istri tidak boleh dilarang bekerja agar memiliki bargaining power sebagai pengambil kebijakan dalam rumah tangga, karena memiliki sumber penghasilan. Jika suami melarang istri bekerja, akan dikenai delik kekerasan versi UU PKDRT. Dengan demikian, relasi suami-istri benar-benar disamaratakan. Disinilah letak pintu masuk bagi kehancuran institusi keluarga.

Penghancur Pernikahan
Draft amandemen UU Perkawinan versi Feminis yang nota bene derivat dari ideologi sekular-kapitalisme, jelas sangat berbahaya. Pertama, UU Perkawinan yang dibangun atas landasan Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) itu berupaya mereduksi ajaran Islam tentang pernikahan. Seperti penentangan atas poligami, perombakan hukum tentang massa iddah dalam kasus perceraian dan relasi yang mengatur hubungan suami dan istri.
Kedua, menggiring masyarakat menuju liberalisasi. Larangan menikah di bawah usia 18 tahun, sekalipun pelaku sudah matang secara fisik, mental dan ekonomi, sama saja dengan menggiring masyarakat untuk menuju pintu seks bebas.
Ketiga, menghancurkan institusi pernikahan dan keluarga. Penyamarataan peran antara suami dan istri, berpeluang besar menimbulkan konflik kepentingan yang berujung pada perceraian. Juga, melemahkan peran pendidikan anak dan kelahiran generasi-generasi berkualitas dari sebuah keluarga.
Di negeri-negeri Barat, dimana perempuannya mandiri secara ekonomi, justru meluas perceraian. Institusi keluarga tak lagi dihormati sebagai wadah terkecil tempat para stkaholders di dalamnya harus berbagi peran. Keluarga tercerai-berai dan anak-anak yang dilahirkan menjadi generasi bermasalah. Fakta seperti inilah yang dikehendaki oleh para penyokong aktivis perempuan, yakni para pengusung ideologi sekular Barat.

Khatimah
UU Perkawinan merupakan target paling strategis dalam upaya penghancuran keluarga-keluarga muslim. Inilah konspirasi keji yang direncanakan Barat yang tak ingin umat Islam di Indonesia masih berpegang teguh pada prinsip-prinsip Islam. Poligami, hanyalah salah satu senjata untuk menstigmatisasi ajaran Islam demi mulusnya rencana jahat mereka. Maka, yang harus dilakukan adalah menangkal amandemen UU Perkawinan ini dengan mengeksiskan syariat Islam ke dalam seluruh sendi kehidupan, termasuk dengan menguatkan institusi pernikahan.(*)

Penulis adalah jurnalis dan penulis buku-buku Islam.


Bahaya di Balik Propaganda Isu Hak Seksual




Oleh Kholda Naajiyah

Tanggal 10 Desember kemarin diperingati sebagai hari Hak Asasi Manusia di seluruh dunia. Salah satu isu HAM yang sedang gencar digembar-gemborkan kalangan Feminis adalah hak seksual perempuan. Menurut paradigma Feminis, hak seksual perempuan adalah bagian dari hak asasi manusia.
Feminis Sonia Correa dan Rosalind Petchesky dalam ”Reproductive and Sexual Rights, a Feminist Perspective” menyatakan tentang prinsip-prinsip hak seksual, diantaranya keutuhan tubuh: yaitu hak atas rasa aman dan kendali terhadap tubuh sendiri.
Sementara Tarshi dalam tulisannya ”Common Ground on Sexuality” menyatakan tentang elemen-elemen hak seksual, diantaranya hak atas keutuhan tubuh dan hak untuk memilih jika, kapan, bagaimana, dan dengan siapa kita aktif secara seksual dan terlibat dalam hubungan seksual yang sama-sama diinginkan (konsensual) .
Sejalan dengan itulah mereka menolak poligami karena dianggap penelantaran hak seksual perempuan. Sementara pernikahan campuran beda agama (padahal dalam agama tersebut diharamkan) mereka bela sebagai hak asasi perempuan tersebut.
Berangkat dari paradigma di atas, kalangan Feminis juga menggugat pasal-pasal perzinaan KUHP. Secara kasar dapat disimpulkan pendapat mereka bahwa pelaku perzinaan atas dasar suka sama suka tidak layak dikriminalkan karena hal itu merupakan bagian dari hak seksual masing-masing.
Lebih jauh mereka menggugat peran negara yang mengatur pemenuhan kebutuhan seksual hanya melalui pernikahan yang sah. Menurut mereka, negara tak berhak mengatur hak seksual seseorang, apalagi membatasinya hanya melalui lembaga pernikahan.
Itu sebabnya mereka menggugat Bab XVI tentang Tindak Pidana Kesusilaan, bagian keempat tentang zina dan perbuatan cabul. Misalnya pasal 486 KUHP yang bunyinya: ”Dipidana karena zina, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun: (a). laki-laki berada dalam ikatan perkawinan, melakukan persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya; Tindak pidana tersebut di atas tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, atau pihak ketiga yang tercemar. Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai. (b) perempuan berada dalam ikatan perkawinan, melakukan persetubuhan dengan laki-laki yang bukan suaminya; (c) laki-laki tidak dalam ikatan perkawinan, melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahuinya perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan; (d) perempuan tidak dalam ikatan perkawinan, melakukan persetubuhan dengan laki-laki, padahal diketahui bahwa laki-laki tersebut berada dalam ikatan perkawinan; atau (e) laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan sah, melakukan persetubuhan.
Sedangkan Pasal 488 dinyatakan bahwa: ”Orang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan sah, dipidana penjara paling lama 5 tahun, dan denda paling banyak Kategori III (lihat KUHP-red).” Semua pasal-pasal KUHP di atas mereka anggap sebagai pengekangan atas hak seksual individu, khususnya hak seksual perempuan. Mereka pun berupaya menggugat UU Perkawinan yang dituduh mengebiri hak-hak seksual perempuan. Termasuk merevisi aturan poligami yang sedang marak dibicarakan.
Pertanyaannya, benarkah kendali atas tubuh kita berada di tangan kita sendiri? Benarkah institusi pernikahan mengekang hak seksual seseorang? Di mana peran negara dalam mengatur hak seksual individu? Bagaimana pula jadinya jika pemenuhan kebutuhan seksual dibebaskan tanpa ikatan pernikahan?

My Body is My Right?
My body, my right! Tubuh adalah hak milik kita pribadi, hak asasi kita mau kita apakan tubuh ini, tak boleh ada orang yang melarangnya.” Itulah filosofi kaum sekularis yang menafikkan Tuhan Pencipta Alam sekaligus sebagai Sang Pengatur kehidupan. Akibatnya, mereka mengklaim sebagai pemegang kendali atas tubuhnya 100 persen.
Adalah hak individu tersebut untuk mendapatkan kenikmatan sebesar-besarnya, walaupun dengan cara mengeksploitasi tubuh, membuka aurat, berhubungan seks dengan siapa saja yang dia suka bahkan hingga menjual diri sekalipun. Dalam paradigma ini, perempuan berhak untuk tidak hamil, berhak mengaborsinya jika tak menghendaki anak, berhak untuk tidak menyusui anak, berhak menolak berhubungan seks dengan suami yang semestinya wajib ia taati dan seterusnya. Tuhan (baca: agama) tidak berhak mengatur urusan pribadi, seperti cara berpakaian, cara bertingkah laku, apalagi terkait dengan pemenuhan kebutuhan seks.
Argumen tersebut jelas bertentangan dengan fakta. Pada realitasnya, manusia hanya memiliki sedikit saja kendali atas tubuhnya. Mereka lupa bahwa tubuh beserta onderdil-onderdil di dalamnya dikendalikan oleh Tuhan Pencipta manusia. Tubuh ini hanya ‘pinjaman’ dari Tuhan, bukan kita sendiri yang menciptakan, bukan pula ‘buatan’ orang tua yang melahirkan kita. Buktinya, banyak manusia yang dicabut kenikmatan fisiknya atau bahkan nyawanya tanpa bisa menolak. Bila tubuh terserang penyakit, tiba-tiba lumpuh, buta, koma, terserang HIV/Aids, siapa bisa mengelak? Jadi, filosofi my body is my right adalah menyesatkan. Yang benar my body is God right. Betapa sombongnya manusia yang merasa memiliki hak penuh atas kendali tubuhnya.
Untuk itu Tuhan menciptakan seperangkat aturan guna menjaga eksistensi kebertubuhan manusia dan mewujudkan kebahagiaan hakiki. Salah satunya berupa aturan pernikahan untuk memenuhi kebutuhan seksual manusia. Meski demikian harus dicatat, pemenuhan kebutuhan seks bukan satu-satunya tujuan disyariatkannya pernikahan dan pernikahan bukanlah sekadar legalisasi hubungan seksual.

Peran Negara
Lembaga pernikahan tak bisa dilepaskan dari perjalanan sejarah umat manusia. Hatta zaman Adam dan Hawa, meski sederhana pernikahan adalah sesuatu yang dianggap paling sakral. Bahkan saking sakralnya, agama tertentu melarang terjadinya perceraian. Ya, hampir semua agama di dunia mensyariatkan lembaga pernikahan. Semua negara juga mengatur tata cara pernikahan. Lantas apa jadinya jika institusi pernikahan digugat, digoyang dan bahkan dicoba untuk dihilangkan dengan dalih kebebasan hak seksual? Dengan demikian keberadaan negara sebagai penjamin keberlangsungan institusi pernikahan sangat penting dan wajib adanya.
Pernikahan mewujudkan ketentraman dan ketenangan. Masing-masing pihak, baik laki-laki maupun perempuan dapat memenuhi kebutuhan seksualnya kapan saja mereka menghendaki. Bandingkan dengan kehidupan seksual tanpa lembaga pernikahan, justru menyulitkan laki-laki maupun perempuan untuk mengekspresikan hak seksualnya. Sebab, ia tidak memiliki pasangan tetap dan tidak memiliki tempat (rumah tangga) yang aman dan nyaman untuk melakukan hubungan seksual. Apalagi, ia belum tentu mendapatkan ketentraman dan ketenangan karena bisa jadi hubungan yang dihasilkan bukan dilandasi nilai-nilai kasih sayang, melainkan nafsu.
Dari sini terbantahlah argumen yang mengatakan bahwa pernikahan, termasuk poligami, mengekang hak seksual seseorang. Justru sebaliknya, pernikahan menjadi wadah yang sangat bebas bagi laki-laki dan wanita dalam mengekspresikan kebutuhan seksualnya. Bahkan, tak hanya kebutuhan biologis, tapi kebutuhan ekonomi, kebutuhan kesehatan (termasuk kesehatan reproduksi), kebutuhan akan pendidikan (suami mendidik istri dan anak-anak) sampai kebutuhan akan keamanan dan ketentraman semua terpenuhi.

Penghancuran Keluarga
Isu hak seksual hanyalah alat propaganda terselubung bagi legalisasi seks bebas. Mereka mencoba mengebiri peran negara dalam mengatur hak seksual melalui pernikahan dan mencoba mereduksi kesakralan nilai-nilai pernikahan. Ini jelas berbahaya karena akan menghancurkan institusi keluarga. Waspadalah!(*)

Kholda Naajiyah, S.Si, peminat masalah sosial, khususnya wanita dan anak-anak.
Tulisan ini dimuat di Radar Bogor edisi Senin, 11 Desember 2006 menyambut hari HAM 10 Desember 2006
 


Saatnya Peduli Ibu dan Generasi



Oleh Asri Supatmiati, S.Si



Tanggal 22 Desember diperingati Hari Ibu secara nasional. Hari yang mengingatkan kembali akan pentingnya peran ibu sebagai pelahir generasi penerus bangsa ini. Kesadaran akan pentingnya tugas-tugas ibu yang tak tergantikan oleh siapapun ini, bahkan sudah menjadi trend di negara maju sejak lama.
Di Amerika (yang sering menjadi barometer penggiat Feminisme), gerakan keluar rumah mulai ditinggalkan oleh kaum perempuan. Mereka berbondong-bondong memutuskan back to family. Berawal dari meluasnya sindrom Cinderella Complex, yakni perasaan akan kegamangan sebagai “public woman”, bermunculanlah organisasi-organisasi yang mendukung kembalinya kaum ibu kepada tugas domestik, sebagai pengatur rumah tangga dan pendidik utama anak-anak.
Mula-mula muncul Moms Offering Mom Support Club yang berdiri sejak 1983. Lalu Yayasan Mothers at Home yang berdiri 1984, Mothers & More tahun 1987 dan masih banyak lagi. Tak heran jika angka statistic partisipasi perempuan dalam karier di ranah public terus menurun (USA Today, 10/05/1991).
Di negeri ini, Majelis Ulama Indonesia pernah mengkampanyekan Gerakan Kembali ke Rumah pada tahun 2004 (Republika, 16/12/04). Sayang, gaungnya ditenggelamkan oleh jargon yang didengungkan oleh para aktivis perempuan. Entah mengapa, rupanya para Feiminis di tanah air ini belum sadar akan terjadinya titik balik perjuangan kaum Feminis internasional yang terbukti telah gagal mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan.
Akibatnya, Feminis di tanah air masih juga dengan lantang mengajak kaum ibu untuk berbondong-bondong keluar rumah dan mencari eksistensi diri di ruang publik. Dengan dalih kemandirian, khususnya kemandirian ekonomi, kaum perempuan dipaksa meninggalkan tugas dan kewajibannya sebagai ibu, pengatur rumah tangga sekaligus pendidik anak-anak.
Betapa tidak, kini lebih banyak anak-anak yang dibesarkan di Tempat Penitipan Anak (TPA), play group, kindergarten dan sejenisnya. Anak-anak tumbuh berkat sentuhan baby sitter dengan imbalan rupiah yang menggiurkan, bukan di tangan ibunya dengan penuh kasih sayang dan keikhlasan serta gratis. Maklum, ibu yang semakin sibuk hanya punya waktu akhir pekan saja untuk memperhatikan buah hatinya. Itupun kalau tidak ada PR dari kantor atau tidak dinas ke luar kota.
Ibu-ibu juga semakin merasa benar dan tenang keluar rumah karena diperkuat oleh apologi yang salah kaprah, seperti “saya bekerja kan juga demi anak” atau “yang penting kan kualitas, bukan kuantitas.”Ah, benarkah anak-anak yang masih kecil-kecil itu mereka tanya dan memang menghendaki ditinggal ibunya? Juga, benarkah kualitas dapat dicapai tanpa memperhatikan kuantitas? Sebuah asumsi yang layak diperdebatkan kebenarannya.

Potret Buram Anak
Terabaikannya peran ibu sebagai pelahir generasi dan pendidik utama anak-anak, telah melahirkan sisi-sisi kelam dunia anak. Memang, terabaikannya peran ibu bukanlah “penyebab” tunggal, karena ada faktor sistemik seperti lingkungan dan negara yang berpengaruh. Namun fakta membuktikan, banyak anak-anak yang mengalami kegagalan dalam menemukan jati dirinya adalah terjadi pada anak-anak yang hidup di dalam rumah tangga dimana tidak ada figur sentral sebagai pendidik.
Ketika kedua orang tua sama-sama sibuk mencari nafkah, ketika seorang ibu mengalihkan tugas pengasuhan dan pendidikan anak-anaknya kepada pihak lain, lahirlah generasi-generasi bermasalah yang haus akan kasih sayang. Ya, kepribadian anak-anak dewasa ini cenderung labil, semakin tidak cerdas dan bahkan cenderung liar.
Kasus bunuh diri pada anak-anak, bahkan balita adalah contohnya. Selanjutnya anak-anak banyak yang terlibat seks bebas, narkoba, hamil di luar nikah, aborsi, hingga tindak kriminalitas. Bayangkan, di Kediri anak usia 12 tahun membunuh balita berusia 4 tahun. Darimana inspirasi membunuh itu ia peroleh? Apakah orang tuanya mengajarkan? Tentu tidak.
Semua itu terjadi karena anak-anak kurang mendapatkan pelajaran dari orang tuanya, khususnya ibu. Sementara banyak sekali “pelajaran” yang ia serap dari mana saja, khususnya di luar rumah. Anak yang belum sempurna akalnya itu, sejatinya membutuhkan bimbingan untuk memilih mana yang benar dan mana yang salah. Ironisnya, ”bimbingan” itu mereka serap dari sumber yang salah. Entah dari teman-teman, artis idolanya, majalah, buku atau bahkan televisi.

Kembalikan Fungsi Keluarga dan Ibu
Ketika dilahirkan manusia baru (newborn baby) merupakan makhluk yang tidak berdaya dan amat sangat tergantung pada pengasuhnya, dalam hal ini pada ibunya. Menurut Neuman (1990) hubungan ibu-anak bahkan sudah dimulai sejak dalam kandungan yakni pada masa uroboric dimana terjadi kesatuan antara diri, ego dan kebenaran (ruh Tuhan, the light).
Pada masa uroboric ini hingga individu berusia 20-22 bulan, merupakan masa penting hubungan ibu-anak dan pembentukan diri individu, yang disebut Neuman sebagai primal relationship. Dalam pandangan ahli social learning maka apa yang dilakukan oleh ibu terhadap anaknya merupakan proses yang diadopsi oleh si anak melalui proses social-modelling. Bagaimana cara ibu mengasuh, apakah dengan penuh kelembutan dan kasih sayang atau apakah dengan kasar dan amarah serta penolakan akan membentuk perilaku manusia muda tersebut. 
Begitu penting peran keluarga khususnya ibu dalam membentuk karakter anak sejak dini bahkan sejak ia di dalam kandungan. Keluarga memiliki peran yang besar disamping sekolah dalam memberikan pengetahuan tentang nilai baik dan buruk kepada anak-anaknya.  Keluarga pulalah wadah dimana anak dapat menerapkan nilai-nilai yang diajarkan di sekolah, maupun di institusi keagamaan.
Solusi dari masalah anak-anak di Indonsia adalah dengan jalan mengembalikan fungsi keluarga sesuai nilai-nilai ajaran moral dan agama. Kedua nilai ini lebih bersifat mapan dan karena negara ini berlandaskan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga sangat wajar nilai-nilai agama menjadi rujukan utama rakyat Indonesia
Fungsi keluarga akan berjalan dengan baik dimulai dari pembenahan kualitas calon pasangan suami istri, calon ayah dan ibu dan suami istri. Mereka hendaklah diberikan pembinaan dan pembekalan memadai supaya paham betul hak dan kewajiban sebagai seorang ayah dan ibu terhadap anak. Disamping memahami tangggung jawab mereka dalam melindungi hak-hak anak-anak mereka. Negara, khususnya Departemen Agama memfasilitasi segala upaya pengembalian fungsi keluarga terutama ibu pada posisinya semula.

Penutup
Bangsa ini sedang mengalami krisis rendahnya Sumber Daya Manusia (SDM). Semua menyadari itu. Bahkan semua sepakat –termasuk negara— akan pentingnya melahirkan generasi-generasi yang berkualitas, baik dari sisi pendidikan, sain maupun moral. Generasi seperti itu hanya bisa terwujud dengan memberikan ruang yang nyaman bagi kaum ibu untuk mendidik anak-anaknya, khususnya pada usia dini. Sebab pada usia kritis inilah masa depan anak ditentukan. Untuk itu negara harus memberikan support demi keberlangsungan peran dan tugas kaum ibu. Bukan sebaliknya, malah mendukung upaya mencerabut kaum ibu dari tugas dan peran utamanya sebagai pelahir dan pendidik generasi masa depan. Inilah saatnya untuk peduli ibu dan generasi!(*)

Jurnalis,  penulis buku-buku Islam.