Poligami dan Rekayasa Demografi



Oleh Kholda Naajiyah

Kata poligami tiba-tiba membahana di bumi persada ini. Pro-kontra, itu sudah pasti. Perang opini sampai debat kusir pun mewarnai. Ada yang mengernyitkan dahi, ada yang gemas, ada pula yang kebakaran jenggot. Pokoknya, luar biasa heboh!
Tulisan ini mudah-mudahan tidak memperuncing ranah pro-kontra. Tulisan ini bukan pula bermaksud hendak memperdebatkan hukum poligami yang sudah banyak dijelaskan para kyai berkompeten. Namun, sekadar ingin memperlihatkan sudut pandang lain dalam melihat polemik soal poligami.

Rekayasa Kependudukan
Tahun 1994 digelar International Conference on Population and Development (ICPD) di Kairo 1994. Dari forum ini dihembuskanlah visi 20 tahun (program aksi) untuk membina keluarga berencana nasional dan internasional, kesehatan reproduksi, pencegahan HIV/AIDS, pemberdayaan perempuan dan upaya-upaya pembangunan terkait lainnya. Program kerja ICPD diantaranya menjelaskan kerangka bagi tercapainya status kesehatan reproduksi yang lebih baik. Konferensi yang baru pertama digelar tersebut dihadiri 10 ribu perwakilan masyarakat sipil dunia dari 179 negara, termasuk Indonesia.
Berdasar acuan tersebut, program Keluarga Berencana (KB) kembali digalakkan untuk menekan angka kelahiran. Indonesia dinilai belum ideal alias masih lebih tinggi dibanding angka kelahiran di Eropa/Barat. Sejak dilaksanakan tahun 1970-an, angka kelahiran masih mencapai 2,6 anak per wanita, belum mencapai angka ideal, yaitu 2,1 anak per wanita. Untuk mencapai angka kelahiran ideal, jumlah akseptor keluarga berencana (KB) perlu ditingkatkan 1 persen setiap tahun agar terjadi keseimbangan jumlah penduduk (Suara Pembaharuan, 24/3/2005)
Lalu apa hubungannya program KB dengan poligami? Inilah penjelasannya. Praktik poligami memberi peluang sangat besar bagi adanya proses regenerasi manusia dengan sangat cepat. Bayangkan, jika satu suami memiliki empat istri dan masing-masing memiliki dua anak saja (seperti yang dkehendaki program KB), berarti telah lahir delapan generasi. Apalagi jika tanpa KB, anak yang dilahirkan bisa dalam jumlah sangat banyak sekaligus. Jika semakin banyak wanita yang rela dimadu dan melahirkan anak-anak dari suaminya, maka pertumbuhan penduduk akan semakin cepat.
Lihat saja, di negeri-negeri Islam, banyak laki-laki yang memiliki anak 20 hingga 40 karena dilahirkan dari empat orang istrinya. Di Afghanistan, Palestina, Iran dan bahkan di Malaysia, hal itu bukanlah hal yang aneh. Bagi mereka, apa yang dilakukan itu adalah mengikuti sunnah Rasulullah Saw yang bangga akan banyaknya jumlah umat muslim.
Anehnya, kendati punya anak banyak dan tinggal di negeri konflik, mereka bisa tetap hidup. Tentu hal ini karena keyakinan bahwa rezeki sudah diatur oleh Allah sehingga tak perlu takut kekurangan meski punya anak banyak. Asumsi bahwa banyaknya anak akan mengurangi kualitas hidup, gugur dengan realitas ini.
Mungkin itu pula rahasia mengapa umat Islam di negeri-negeri konflik tak pernah habis. Lihat saja, Palestina dengan penduduk pada 2002 sebesar 4,9 juta jiwa, hanya kalah sedikit dibanding jumlah penduduk Yahudi sekitar 5,1 juta jiwa. Padahal, sejak tanah kelahirannya dirampas tahun 1948, telah jutaan nyawa warga Palestina melayang.
Mengapa Israel tak pernah bisa menghabisi penduduk Palestina? Seperti pepatah mati satu tumbuh seribu, hal itu dikarenakan regenerasi di Palestina berlangsung cepat. Janda-janda korban perang, dinikahi para mujahidin lain hingga melahirkan banyak keturunan sebagai calon pewaris perjuangan.
Tak heran bila Kantor Pusat Data dan Statistik Palestina memprediksikan, pada tahun 2010, orang-orang Palestina akan menjadi mayoritas di seluruh tanah historis Palestina, yang meliputi wilayah Jalur Gaza, Tepi Barat dan Palestina (wilayah Palestina yang dirampas penjajah Israel sejak tahun 1948).
Diprediksi, jumlah penduduk Palestina akan mengalahkan Israel sebentar lagi. Pada 2010 jumlah penduduk diperkirakan meningkat hingga 6,2 juta jiwa dan pada 2020 mencapai 8,2 juta jiwa. Sementara jumlah warga Yahudi diperkirakan hanya sekitar 5,7 juta orang pada 2010 dan 6,4 juta jiwa pada 2020. Perbandingan demografi ini sangat mengkhawatirkan Zionis. Merekapun ramai-ramai memberi hadiah kepada kaum wanita Israel yang mau melahirkan anak banyak.
Ancaman Loss Generation
Kondisi yang dialami Israel juga terjadi di negeri-negeri sekular Barat. Dunia Barat sedang mengalami deficit generasi akibat sistem hidup sekularis-kapitalisme yang diterapkannya. Angka kelahiran sangat rendah, disebabkan keengganan para wanita untuk menikah dan memiliki anak. Di sisi lain generasi tua bertahan hidup lebih lama, karena meningkatnya kualitas hidup dan kesehatan. Karena itu, di sana para wanita didorong untuk menikah dan memiliki banyak anak. Jadi, program KB di sana malah tak berlaku. Karena itu sasaran tembah program KB adalah negara-negara dunia ketiga yang mayoritas muslim. Tujuan sebenarnya: menghentikan atau mengendalikan ledakan penduduk muslim.
Memang, program KB memang dikemas dengan tujuan yang seolah-olah mulia, yakni untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan keluarga. Logikanya, dengan semakin beratnya beban ekonomi saat ini, jumlah anak yang sedikit akan lebih terjamin kesejahteraannya dibanding anak banyak. Selain itu, wanita yang melahirkan sedikit anak akan lebih terjamin kesehatannya dibanding melahirkan banyak anak. Sebab risiko melahirkan sangat besar, bahkan nyawa taruhannya.
Argumen tersebut berangkat dari Teori Malthus yang dianggap sebagai bapak kependudukan oleh Barat. Teori tersebut mengatakan bahwa pertumbuhan pangan ibarat deret hitung, sementara pertumbuhan penduduk ibarat deret ukur. Artinya, pertumbuhan penduduk jauh lebih banyak dibanding pertumbuhan pangan. Sehingga, jika pertumbuhan penduduk tidak dikendalikan maka akan terjadi ledakan penduduk di mana jumlah pangan yang ada tidak akan mencukupi untuk seluruh umat manusia.
Teori menyesatkan tersebut telah melahirkan upaya untuk menekan angka kelahiran. Namun dampaknya sungguh membahayakan. Ditekannya pertumbuhan penduduk telah menimbulkan problem sosial akibat rendahnya angka fertilitas dan makin tingginya penduduk usia tua. Hampir di seluruh dunia mengalami penuaan dan terancam kekurangan SDM usia produktif karena rendahnya angka krlahiran generasi penerus.
Meski menurut perkiraan PBB jumlah penduduk dunia dalam dekade-dekade mendatang akan meningkat sampai lebih 9 miliar orang, di Eropa angka kelahiran menurun (Dw.org/03.02.2005). Demikian pula di negara-negara maju di Asia dan berbagai belahan dunia. Angka kelahiran Korea Selatan tahun 2004 tercatat sebesar 1,16, merupakan rekor terendah di negara tersebut. Menurut badan statistik nasional Korsel (NSO) angka tersebut turun dari 1,19 yang tercatat pada tahun 2003. Angka itu lebih rendah dari yang dicatat Jepang sebesar 1,288, dan jauh lebih rendah dari negara-negara Eropa dan Amerika Serikat yang sebesar 2,04.
Ada penurunan tajam jumlah wanita yang melahirkan pada usia antara 25-29, karena mereka lebih memilih melahirkan setelah usia 30-an. Meski pemerintah Korsel telah memberikan subsidi guna mendongkrak angka kelahiran, tapi banyak kalangan muda Korsel menganggap memiliki anak merupakan beban terhadap keuangan mereka, selain mempengaruhi gaya hidup dan karir. Kekhawatiran yang sama juga terjadi di Italia dan Jerman. (Media Indonesia, 24/8/2005)
Sementara di sisi lain, negeri Barat akhir-akhir ini diserbu imigran dari negeri-negeri Islam, khususnya Timur Tengah. Kaum imigran muslim ini menjadi suplier terbesar bagi tenaga kerja di sana. Tanpa keberadaan mereka, roda-roda perekonomian terancam. Kehadiran kaum imigran dengan ajaran Islamnya saja, sudah mengkhawatirkan Barat. Terlebih dengan banyaknya generasi yang mereka lahirkan di negeri mereka. Bukan tidak mungkin, 10, 20 atau 30 tahun ke depan, pemegang kendali perekonomian di Barat lama-lama akan jatuh ke tangan para imigran ini. Hal itu bisa terjadi jika proses regenerasi di Barat tidak menunjukkan perbaikan.
Ini bukan masalah remeh bagi Barat, melainkan ancaman besar. Karena itu direkayasalah program pengendalian ledakan penduduk yang sasarannya justru negara-negara dunia ketiga (baca: muslim). Bila kaum muslimin pun termakan rekayasa ini, maka ancaman kepunahan dan loss generation juga akan melanda negeri muslim terbesar ini.

Pentingnya Regenerasi
Proses regenerasi adalah faktor terpenting bagi eksistensi sebuah keluarga, suku, komunitas, negara dan bahkan sebuah peradaban. Jika proses regenerasi terhenti, yang terjadi adalah hilangnya sebuah keluarga, suku, negara dan bahkan peradaban itu.
Dalam skala keluarga, pasangan suami-istri pasti mengharapkan kehadiran anak kandung sebagai pewaris keluarga. Berbagai cara ditempuh untuk mendapatkan keturunan. Bayi tabung misalnya, menjadi salah satu solusi bagi pasangan yang dari segi medis, fisik dan hormonnya tidak bermasalah. Artinya, peluang memiliki anak ada.
Nah, poligami sering dijadikan solusi bagi lahirnya generasi ini. Hal itu terjadi dalam kasus istri pertama mandul, sakit permanen yang menutup peluang lahirnya keturunan atau usianya telah lanjut hingga tak memungkinkan memiliki anak. Dengan menikah lagi dan kemudian memiliki anak, “kelemahan” istri pertama yang tidak memiliki keturunan justru disempurnakan oleh istri berikutnya. Sebab, pada hakikatnya anak dari istri kedua ini adalah menjadi “anak” pula bagi istri pertama.
Dengan demikian, naluri keibuan istri pertama tetap bisa tersalurkan terhadap anak suaminya dari istri kedua. Keluarga itupun tidak terancam eksistensinya karena telah lahir keturunan di tengah-tengah mereka sebagai pewaris generasi. Itulah hakikat sebuah pernikahan, yakni untuk melestarikan keturunan, baik monogami maupun poligami. Jika dimaknai dengan benar, pernikahan bukan sekadar legalisasi pemenuhan kebutuhan biologis, tetapi lebih dari itu sebagai kawah candradimuka bagi lahirnya generasi.
Karena itu, Islam sangat memikirkan proses regenerasi ini dengan sudut pandang jauh ke depan. Pasalnya, pentingnya regenerasi bukan hanya demi eksistensi sebuah keluarga, namun juga demi eksistensi sebuah masyarakat muslim, negeri Islam dan bahkan eksistensi ajaran Islam itu sendiri. Maka, tak heran bila Rasulullah Saw mengajarkan agar umatnya memperbanyak keturunan, dan tentu salah satunya melalui pintu poligami. Juga, menganjurkan kepada kaum laki-laki untuk menikahi wanita-wanita yang subur. Semua itu demi berlangsungnya proses regenerasi.
Sementara itu, dalam skala negara, masalah regenerasi ini menjadi lebih penting lagi. Sebuah negara yang tidak memikirkan proses regenerasi bisa terancam punah. Spanyol misalnya, salah satu negeri yang terancam ‘punah’. Tingkat kelahiran bayi termasuk yang paling rendah di dunia. Rata-rata angka kelahiran perempuan Spanyol adalah 1,12. Jika dari waktu- ke waktu tidak ada bayi lahir di sana, maka dalam jangka panjang penduduk negeri itu akan habis. Peradaban Spanyol pun sudah dipastikan akan lenyap. Hal itu bukanlah sesuatu yang mustahil.

Agenda Konspirasi
Dengan demikian, adanya stigmatisasi buruk tentang poligami dan wacana pelarangannya adalah bagian dari agenda internasional untuk mencegah terjadinya proses regenerasi kaum muslimin. Agenda pelarangan poligami setali tiga uang dengan pertama, agenda pelarangan pernikahan dini dan pembatasan usia pernikahan, dengan asumsi membahayakan kesehatan reproduksi. Hal ini bisa dilihat dari UU Perlindungan Anak yang mendefinisikan anak adalah mereka yang berusia kurang dari 18 tahun dan orang tua wajib melarang pernikahan pada anak di bawah 18 tahun.
Kedua, pelarangan memiliki anak lebih dari dua (program KB), dengan jargon meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ketiga, pelarangan melahirkan bagi wanita di atas usia 34 tahun dengan dalih berrisiko tinggi dan mengganggu kesehatan reproduksi. Keempat, pelarangan istri untuk taat kepada suami (di tempat tidur) dengan dalih kekerasan dalam rumah tangga. Kelima, kebolehan melakukan aborsi dengan alasan hak perempuan dan kesehatan reproduksi atas kehamilan yang tidak diinginkan. Keenam, kebolehan melakukan seks bebas dengan dalih hak asasi manusia (hak seksual), terbukti dengan program kondomisasi.
Semua agenda tersebut berujung pada upaya mencegah atau setidaknya menghambat proses regenerasi umat Islam. Itulah agenda berbahaya yang sedang kita hadapi. Karena itu, bagi umat Islam, waspadalah terhadap kekuatan ideology secular-kapitalisme global yang dengan rapi, sistematis dan teragenda berencana menghancurkan umat Islam.(*)

Kholda Naajiyah S.Si, peminat masalah wanita, remaja dan anak-anak.

No comments: