Menyelamatkan Institusi Pernikahan




Oleh Asri Supatmiati, S.Si

Angka perceraian dewasa ini terus meroket. Di Kota Bogor misalnya, dalam kurun Januari sampai November 2006, perceraian mencapai 375 kasus. Yang menarik, dari kasus perceraian yang masuk ke Pengadilan Agama Kota Bogor tersebut, paling banyak adalah cerai gugat dari pihak istri sebanyak 261 kasus, mengalahkan cerai talak dari pihak suami yang hanya 114 kasus (Radar Bogor, 9/01/07).
Tingginya gugatan cerai dari pihak istri patut dicermati. Tampaknya, kaum perempuan di era masa kini lebih berani memutuskan hidup sendiri dibanding sepuluh atau dua puluh tahun lalu. Ada apa?
Ironi Kemandirian Wanita
Sejak dahulu, sebuah keluarga dibangun dengan relasi yang sangat jelas, yakni suami sebagai pencari nafkah dan istri sebagai manajer rumah tangga. Pembagian peran yang harmonis ini telah mapan sejak zaman nenek moyang kita. Rumah tangga pun terbukti adem-ayem. Angka perceraian bisa diminimalisir.
Memang, pembagian peran itu menyebabkan kaum istri bergantung secara ekonomi kepada suami. Namun ada sisi positifnya, yakni menjadi penguat tali keluarga. Sebab, separah apa pun konflik di dalam keluarga, seorang istri lebih memilih bersabar dan bertahan. Istri berusaha menerima kekurangan suami demi keutuhan rumah tangganya, karena sadar bahwa di mata suami dirinya pun juga pasti memiliki kelemahan. Apalagi bila telah memiliki anak, kepentingan anak-anak adalah di atas segalanya, sehingga seorang istri berusaha membuang jauh-jauh keinginan menggugat cerai suaminya.
Namun, kondisi tersebut kini telah berubah. Telah terjadi pergeseran nilai-nilai, dimana pembagian peran dalam rumah tangga semakin kabur. Sejak kaum perempuan menuntut peran lebih dari tugasnya sebagai manajer rumah tangga, banyak kaum perempuan yang menjalani peran mencari nafkah.
Jika dorongannya keterpaksaaan karena membantu nafkah keluarga akibat penghasilan suami kurang, memang bisa dimaklumi (meski standar “kurang” di sini patut dicermati). Ironisnya tak sedikit kaum wanita yang tenggelam mengejar uang karena ambisi pribadi atau sekadar menunjukkan eksistensi diri. Sejak itu kaum perempuan lebih mandiri secara ekonomi. Kemandirian ini berhasil melepaskan ketergantungan mereka kepada suami. Akibatnya, ada masalah sepele saja, mereka berani menggugat cerai suaminya. Masalah anak pun seolah terabaikan.
Gejala seperti di atas dibenarkan Psikolog Universitas Indonesia Dini P Daengsari. Diakuinya, banyaknya wanita yang bekerja membuat mereka kini tidak lagi banyak tergantung pada laki-laki. ''Sekarang wanita berani hidup sendiri, beda dengan dahulu ketika wanita lebih banyak bergantung pada laki-laki,'' tutur Dini (Republika, 24/12/06).
Banyaknya wanita berkiprah di sektor publik ini tak terlepas dari “keberhasilan semu” program pemberdayaan perempuan yang dewasa ini telah menjadi mainstream pembangunan. Disebut keberhasilan semu, karena program ini secara individual memang cukup mampu meningkatkan kiprah kaum perempuan, namun secara agregat dan dalam jangka panjang harus dibayar mahal dengan kehancuran institusi keluarga. Terbukti dengan tingginya angka perceraian seperti diungkap di atas. Kendati bukan sebagai penyebab utama, disinyalir kemandirian (ekonomi) perempuan turut memberi kontribusi atas retaknya rumah tangga. Gugatan artis-artis wanita terhadap para suaminya bisa menjadi penguat argumen di atas.

Belajar dari Barat
Fenomena di atas sejatinya telah melanda negara-negara maju (baca: Barat) yang sering menjadi rujukan kaum perempuan sejak lama. “Gerakan Keluar Rumah” yang dicetuskan para Feminis di Barat, telah menuai badai. Di Amerika Serikat misalnya, angka perceraian meningkat tajam sejak 1960-an. Tahun 1980 jumlah anak yang dibesarkan oleh kepala keluarga wanita telah mencapai 50%. Tahun 1997 angka perceraian tercatat 1,164 juta dan tahun 1998 sebanyak 1,94 juta. Tahun 1999 jumlah laki-laki yang dicerai 8,57 juta (8,3%) dan wanita 11,3 juta (10,2%) (www.swaramuslim.net). Angka perceraian di Inggris juga tergolong tinggi. Menurut survei tahun 2003, telah terjadi peningkatan kasus perceraian 3,7% atau 166.700 kasus dari 160,700 kasus di tahun 2002. (www.yadim.com).
Anak-anak korban perceraian itu hidup dalam depresi dan kehilangan perlindungan dari keluarga. Mereka dengan mudah akan terseret ke dalam pergaulan yang sesat dan tidak jarang terjatuh dalam kegiatan kriminal. Dari hasil penelitian yang dilakukan di seluruh wilayah AS dan dimuat di www.divorcemagazine.com terungkap 63% pembunuhan di usia remaja, 90% anak melarikan diri, 85% anak memiliki masalah perilaku dan 85% anak yang dipenjara berasal dari anak dengan orangtua tunggal (bapak atau ibu saja) atau yang diasuh di panti asuhan. Keburukan itu belum ditambah dengan jutaan kasus HIV dan AIDS, masalah lesbianisme dan homoseksual, pengabaian terhadap orangtua, serta segudang masalah keluarga dan sosial lainnya.
Berkarir di Rumah
Melihat kenyataan itu, gerakan perempuan di Barat telah menuju titik balik. Gebyar panggung karir di ranah publik kini semakin ditinggalkan kaum perempuan di sana. Kalaupun berkarir, mereka lebih memilih menekuninya di ranah domestik. Gerakan back to family telah menjadi tren di negara maju. Dengan berkarir di rumah, perempuan tetap bisa mengerjakan kewajiban rumah tangga dan mendidik anak, tanpa kehilangan kesempatan untuk mengaktualisasikan diri dan mendapatkan penghasilan.
Gerakan ini bermula dari meluasnya sindrom Cinderella Complex pada 1980-an, yakni adanya kegamangan para “public woman”, dimana di satu sisi mereka ingin bebas dari laki-laki, tapi begitu bebas, sudut hatinya ingin kembali mendapatkan perlindungan dari kaum laki-laki. Ironisnya, kaum laki-laki sudah terlanjur bebas dari “kodratnya” sebagai pelindung perempuan, sehingga para public woman itu akhirnya menuai ketidakpastian.
Setelah itu muncullah organisasi-organisasi yang mendukung kembalinya perempuan karir kepada tugas domestik, sebagai pengatur rumah tangga dan pendidik utama anak-anak. Seperti Moms Offering Mom Support Club yang berdiri 1983, lalu Yayasan Mothers at Home 1984, Mothers & More 1987 dan masih banyak lagi. Tak heran jika angka statistik partisipasi perempuan dalam karir di ranah publik terus menurun (USA Today, 10/05/1991).
Ironisnya, di Indonesia, gerakan keluar rumah justru sedang gencar-gencarnya dijajakan. Padahal, bencana rumah tangga seperti perceraian sudah menampakkan gejala-gejala penguatan. Karena itu, mustinya kita belajar dari perempuan karir di Barat yang telah bertobat dan kembali ke dalam rumahnya. Mustinya biarkanlah laki-laki dan perempuan berbeda dengan pembagian peran masing-masing demi keharmonisan rumah tangga dan masyarakat. Hanya dengan cara itulah institusi pernikahan bisa terselamatkan dari kehancuran.(*)

Asri Supatmiati adalah penulis buku Cewek Ngomongin Virgin.